Dari kanan: Deputy Head of Research and Data Katadata.co.id Stevanny Limuria, Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga, dan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam diskusi di Jakarta, Kamis (28/3/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan efektif Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau E-Dagang yang direncanakan pada Senin (1/4/2019) kemungkinan ditunda. Sebab, peraturan Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai yang mendampinginya, termasuk untuk mengatur transaksi di media sosial, belum selesai disusun.
Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Kamis (28/3/2019), di Jakarta. Menurut dia, pemerintah perlu menciptakan suasana persaingan yang seimbang antara transaksi di platform e-dagang dan platform media sosial (medsos).
”Di (Pasal 1 Ayat 3) PMK 210, platform atau wadah elektronik bisa berupa aplikasi, situs web, atau jenis lainnya yang memungkinkan terjadinya transaksi. Karena itu, medsos sudah jelas kena pajak dan perlu diperjelas dalam peraturan direktorat jenderal pajak (perdirjen). Masalah efektif atau tidak bisa dievaluasi belakangan, yang penting diperjelas lebih dulu,” kata Yustinus.
Berdasarkan PMK Nomor 210/PMK.010/2018, pedagang dan penyedia jasa di platform e-dagang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet. Bagi pedagang dan penyedia jasa dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun, hanya PPh final yang dikenakan. Pedagang yang beromzet lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.
Saat ini hanya platform e-dagang, seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Lazada, yang pasti terkena pajak. Yustinus menunjukkan, di aplikasi Facebook pada ponselnya ada fitur Marketplace. Instagram juga memiliki fitur belanja di akun-akun resmi merek. Karena itu, Yustinus mendesak pemerintah untuk juga mengawasi perdagangan ritel di medsos.
Sementara tersisa empat hari menuju pemberlakuan PMK Nomor 210/PMK.010/2018, perdirjen belum selesai disusun. Karena itu, Yustinus memperkirakan pemberlakuan akan ditunda selama tiga hingga empat bulan ke depan.
”Kalau perdirjen belum selesai, tidak mungkin diterbitkan sekarang. Mau tidak mau, pemberlakuan PMK harus ditunda. Saya rasa dalam tiga sampai empat bulan, perdirjen pasti sudah bisa selesai disusun,” ujar Yustinus.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Menurut penelitian CITA, sektor ekonomi digital yang berkembang pesat bisa membuka penerimaan dari pajak. Penerimaan PPh final bisa mencapai Rp 342 miliar dengan asumsi nilai transaksi pada penyedia platform e-dagang Rp 68,4 triliun pada 2017 (Kompas, 27 Februari 2019).
Di lain pihak, Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga berharap PMK tentang e-dagang diterapkan bersamaan dengan perdirjen. Selama ini idEA telah merundingkan aturan tentang perdagangan melalui medsos dan bentuk pelaporan transaksi oleh para pedagangnya.
Menurut Bima, perpajakan pada media sosial perlu dilakukan untuk menghindari migrasi besar-besaran pedagang dalam jaringan (daring) dari platform e-dagang ke medsos. Para pedagang di platform e-dagang sudah bertanya-tanya pada penyedia platform, tetapi tidak ada jawaban jelas yang bisa diberikan.
Karena itu, idEA mengusulkan PMK e-dagang dikenakan juga pada pedagang di medsos yang tergolong usaha mikro dengan omzet Rp 300 juta per tahun. ”Harapan kami, aturan pajak ini tidak hanya ke marketplace karena akan jadi tidak tidak adil untuk model bisnis yang lain (platform e-dagang),” kata Bima.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, peraturan ini bukan sekadar untuk mengejar pemasukan dari pajak, melainkan juga untuk mendata jumlah transaksi e-dagang di Indonesia. Terkait dengan itu, Bima memperkirakan, pemerintah bisa mengambil waktu untuk menyusun aturan e-dagang di medsos selama dua tahun.
”Dalam kurun waktu itu, kita bisa berdiskusi untuk menyusun peraturan di medsos. Pendataan tidak akan tertunda karena para anggota idEA sudah diminta menyetor data ke salah satu lembaga pemerintah secara rutin,” kata Bima.
Sosialisasi
Penundaan pemberlakuan PMK tentang e-dagang selama dua tahun juga disuarakan Deputy Head of Research and Data Katadata.co.id Stevanny Limuria. Selama jangka waktu tersebut, pemerintah dan asosiasi memiliki waktu untuk menyosialisasikan peraturan perpajakan ini kepada para pedagang.
”Sosialisasi itu dilakukan secara bertahap, mulai dari tentang peraturan perpajakan hingga kewajiban wajib pajak. Bagi yang omzetnya di atas Rp 4,8 miliar per tahun, mereka juga harus diberitahu kewajiban apa yang harus mereka penuhi sehingga awareness itu tumbuh,” kata Stevanny.
Waktu sosialisasi juga dapat mengubah perilaku pedagang yang cenderung menghindari pajak. Para pedagang mikro, kecil, dan menengah selama ini tidak pernah melaporkan penghasilan kena pajak meskipun omzetnya telah melampaui Rp 300 juta per tahun.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Ilustrasi _ Aktivitas pemeriksaan barang sebelum dikirim di gudang JD.ID di Marunda Center, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (8/6/2018).
Atur hal lain
Pajak e-dagang di medsos adalah usulan tambahan dari rencana awal pembuatan perdirjen. Beberapa hal, seperti pendaftaran nomor pokok wajib pajak (NPWP) di platform e-dagang dan pelaporan rekapitulasi transaksi, diatur dalam perdirjen pajak. Adapun beberapa hal lain menyangkut komoditas diatur dalam perdirjen bea cukai.
Menurut Stevanny, PMK tentang e-dagang paling mudah diawasi oleh penyedia platform e-dagang. Sebab, penyedia platform bertugas menyusun catatan penjualan dengan mudah.
Sementara itu, Yustinus mengatakan, penyedia platform e-dagang sebenarnya keberatan dengan laporan transaksi setiap pedagang ber-NPWP selama setahun sekali. Karena itu, diperlukan insentif bagi penyedia platform, seperti kategorisasi risiko rendah bagi penyedia platform yang rutin mengirimkan pencatatan dan risiko tinggi bagi yang tidak mengirimkan.