JAKARTA, KOMPAS – Hasil survei Centre for Strategic and International Studies atau CSIS menunjukkan Calon Presiden-Wakil Presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, unggul sekitar 18 persen dari kompetitornya, nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Untuk lebih meningkatkan elektabilitas, upaya setiap kubu memobilisasi pendukungnya agar menggunakan hak pilihnya, 17 April 2019, dinilai tepat, mengingat turunnya partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu. Ditambah lagi kemungkinan calon pemilih lebih memilih berlibur daripada datang ke tempat pemungutan suara.
CSIS merilis hasil survei nasional mereka, di Jakarta, Kamis (28/3/2019). Hasil dari survei itu persisnya, elektabilitas Jokowi–Amin mencapai 51,4 persen sedangkan Prabowo–Sandi sebesar 33,3 persen. Di luar itu, sebanyak 14,1 persen responden menyatakan tidak menjawab dan rahasia, sedangkan 1,2 persen belum menentukan pilihannya.
Survei dilakukan 15-22 Maret 2019 dengan jumlah sampel sebesar 1.960 responden yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia. Penarikan sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan metode multistage random sampling. Margin of error dari survei ini lebih kurang 2,21 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Berdasarkan hasil survei itu, Jokowi-Amin unggul di delapan dari sembilan kategori wilayah. Delapan kategori wilayah itu, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah dan Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Kemudian Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali. Selain itu, wilayah Maluku dan Papua. Adapun Prabowo-Sandi hanya unggul di wilayah Sumatera.
“Selain mengandalkan mesin partai (untuk meningkatkan elektabilitas), partisipasi politik bisa menjadi penentu, sehingga harus dimobilisasi,” kata Peneliti CSIS Arya Fernandes.
Mobilisasi dinilai penting salah satunya karena partisipasi pemilih yang terus turun dari pemilu ke pemilu pasca reformasi. Di Pilpres 2004 misalnya, partisipasi pemilih hampir 80 persen. Kemudian turun di 2009 menjadi 77,09 persen, dan kembali turun di 2014 menjadi 70 persen.
Beberapa upaya pun telah dilakukan oleh kedua kubu untuk menggerakkan pemilih ke tempat-tempat pemungutan suara.
Kubu Jokowi-Amin telah menyerukan kepada seluruh pendukungnya untuk mengenakan baju putih saat datang ke TPS. Gerakan tersebut salah satunya dimaksudkan agar dapat mempengaruhi persepsi pemilih yang masih ragu.
Sementara dari kubu Prabowo-Sandi, muncul seruan dari Ketua Badan Penasihat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Zulkifli Hasan kepada para simpatisan agar membuat dapur umum di TPS-TPS. Seruan tersebut disampaikan saat ia mendampingi Sandiaga berkampanye di Gelanggang Olah Raga (GOR) Cendrawasih Jakarta Barat, Senin lalu.
Menurut Arya, mobilisasi pemilih akan mudah jika tagline yang digunakan mudah diingat. Jika kedua gerakan tersebut bisa diviralkan oleh basis konstituen masing-masing, tidak menutup kemungkinan memberi dampak besar pada partisipasi masyarakat.
“Mobilisasi akan efektif jika pesannya kuat. Gerakan semacam Rabu putih dan dapur umum, saya kira menjadi salah satu langkah cerdik dari kedua kubu,” katanya.
Berlibur
Survei CSIS juga menunjukkan sekitar tujuh persen responden yang berniat berlibur pada hari pemungutan suara Pemilu 2019. Ini karena hari pencoblosan hanya berselang dua hari dengan hari libur nasional, Jumat Agung, 19 April 2019.
Menurut Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte, hasil survei tersebut menjadi tantangan bagi kedua kubu untuk meyakinkan kelompok-kelompok yang berniat berlibur. Pemilih yang memutuskan berlibur sebagian besar berasal dari kalangan non muslim yakni sebesar 21,4 persen.
“Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kandidat, partai, bahkan KPU,” katanya.
Pemilu legislatif
Selain itu, Philips menyoroti peluang partisipasi masyarakat dalam Pemilu Legislatif (Pileg). Berdasarkan hasil survei CSIS, baru ada sekitar 44,8 persen masyarakat yang sudah mempunyai pilihan caleg, sedangkan 18,7 persen mengaku sudah menentukan partai yang akan dipilih. Artinya, masih ada 36,5 persen yang belum menentukan pilihan.
“Masih kecil sekali. Padahal selama lima tahun ke depan, orang-orang yang dipilih ini akan membuat undang-undang dan regulasi,” ujarnya.
Peneliti CSIS Noory Okthariza menambahkan, efek personal caleg ternyata lebih tinggi dibanding partai pengusungnya, sehingga mereka lebih dikenal.