Seorang anak berbaju oranye kedodoran berlari tanpa alas kaki menyeret layang-layang di tengah tiupan angin siang yang malas. Bulir keringat sebesar biji jagung memenuhi wajah anak itu.
Sudah hampir satu jam Iyas (6) berusaha menerbangkan layang-layang bergambar tokoh epos Mahabarata itu. Namun, keberuntungan tampaknya belum berpihak kepada si kecil berbaju oranye itu.
Selepas tengah hari, bantaran Kanal Barat, Kelurahan Jatipulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, berubah menjadi arena bermain layang-layang. Puluhan anak berbagai usia berkumpul mengadu ketangkasan di angkasa.
”Semakin sore, semakin ramai (anak-anak) yang main layangan. Biasanya (anak-anak) berkumpul di jembatan atau pinggir kali,” kata Farel (12).
Meskipun harga sebuah layang-layang hanya Rp 1.000, kebahagiaan memenangi persaingan berebut layangan putus tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mereka rela berlari terbirit hingga ke kampung sebelah demi memburu sebuah layang-layang tak bertuan itu.
”Enggak lengkap dong rasanya kalau udah mutusin layangan orang, tetapi enggak dapetinpakbul-nya (layangan putus),” kata Farel.
Namun, dalam beberapa kasus khusus, perebutan pakbul bisa diabaikan. Hal ini terjadi ketika layang-layang Iyas tak sengaja putus disambar benang gelasan Nabil (12).
Nabil memang mengejar layang-layang Iyas yang putus itu. Namun, setelah mendapatkan pakbul itu, ia segera mengembalikannya kepada Iyas.
Hal itu dilakukan Nabil karena Iyas tak dihitung sebagai pesaingnya beradu layang-layang. Iyas dianggap sebagai anak bawang. Artinya ia dianggap sebagai anak kecil yang belum mengerti peraturan dan tidak masuk hitungan permainan.
Segera setelah layang-layang itu dikembalikan, anak-anak yang lain membantu Iyas membuat talikama (simpul di badan layang-layang) agar ia dapat kembali bermain. Bahkan, ada juga seorang anak yang membantu Iyas menerbangkan layang-layangnya lagi.
Permainan melahirkan nilai
Johan Huizinga, sejarawan yang menulis Homo Ludens (1938), menyatakan, permainan membentuk kebudayaan. Unsur-unsur tertentu dalam permainan, misalnya persaingan dan kolaborasi, ikut membentuk tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Dalam permainan tradisional, misalnya gobak sodor, ular naga, gundu, petak jongkok, petak umpet, bentengan, dan layang-layang, terlihat betapa nilai kebersamaan dan kerja sama dijunjung tinggi anak-anak di Jakarta sedari mereka masih belia.
Ketika lahan bermain di Jakarta semakin sempit, perlahan permainan tradisional menghilang dari kehidupan anak-anak. Sekarang anak-anak juga masih bermain, tetapi kini mereka lebih akrab dengan gim yang diproduksi pasar.
Model permainan modern itu memungkinkan mereka tak perlu keluar rumah untuk mendapatkan pengalaman bermain yang hampir serupa. Namun, jika tidak hati-hati, gim bisa menyerobot dan mengasingkan anak-anak dari pertemanan yang sesungguhnya.
”Gim mainannya anak gedongan, kami enggak punya duit buat main begituan. Daripada buat beli hp atau pulsa, mendingan buat beli layangan dapat banyak. Kami main layangan dah, begini aja udah senang,” kata Farel.
Keterbatasan ekonomi tak menghalangi anak-anak di bantaran kali itu untuk bermain dan tertawa bahagia. Hingga langit barat membenamkan matahari dan menyiram kelam, mereka masih riang berlarian mengejar pakbul.