Satuan Tugas Antimafia Bola Polri menetapkan 16 tersangka dari lima laporan masyarakat. Peran klub, pengamat sepakbola, dan masyarakat memberikan informasi sangat diharapkan untuk membongkar praktik mafia sepak bola yang telah merugikan banyak pihak.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Satuan Tugas Antimafia Bola Polri menetapkan 16 tersangka dari lima laporan masyarakat. Peran klub, pengamat sepak bola, dan masyarakat memberikan informasi sangat diharapkan untuk membongkar praktik mafia sepak bola yang telah merugikan banyak pihak.
”Kami tidak paham seluruh prosesnya. Ada klub, PSSI asosiasi provinsi, dan pelaku sepak bola lainnya yang lebih memahami. Namun, kami paham betul proses penyelidikannya. Jadi, perlu dukungan semua pihak untuk mengungkapnya,” ujar Kepala Satgas Antimafia Bola Polri Brigadir Jenderal (Pol) Hendro Pandowo di Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/3/2019).
Di Kota Bandung, Hendro menghadiri diskusi bertema ”Membangun Masa Depan Sepak Bola Indonesia Bersama Satgas Antimafia Bola”. Diskusi itu juga dihadiri pengurus klub Persib Bandung, PSGC Ciamis, Persika Karawang, Persiwa Wamena, serta puluhan pendukung Persib.
Hendro mengatakan, tujuh dari 16 tersangka telah ditahan, termasuk Plt Ketua Umum PSSI Joko Driyono. Para tersangka terdiri dari exco PSSI Johar Lin Eng (Tjan Lin Eng), anggota Komisi Disiplin PSSI Dwi Irianto alias Mbah Putih, bekas anggota Komisi Wasit PSSI, Priyanto alias Mbah Pri, beberapa wasit, perangkat pertandingan, dan penanggung jawab klub. Polisi mempunyai waktu hingga Juni 2019 untuk mengungkap seluruh laporan tersebut.
Salah satu laporan yang diterima satgas berasal dari Manajer Klub Persibara Lasmi Indrayani. Priyanto diduga meminta uang kepada Lasmi dan menjanjikan Persibara promosi dari Liga 3 ke Liga 2.
Tujuh dari 16 tersangka telah ditahan, termasuk Plt Ketua Umum PSSI Joko Driyono.
Satgas juga menyelidiki dugaan pengaturan skor di Liga 2 musim lalu, yaitu pertandingan PSS Sleman vs Madura FC. Selain itu, pengaturan skor yang melibatkan klub PS Mojokerto Putra dan pertandingan Liga 3 antara Persibara vs Persekabpas Pasuruan ikut diperiksa.
”Informasi dari klub diperlukan untuk mengungkap aktor intelektualnya. Mari bekerja sama mewujudkan sepak bola Indonesia yang bersih dan bermartabat,” ucapnya.
Manajer Persiwa Borgo Pane mengaku pernah ditelepon beberapa orang yang menginformasikan timnya akan kalah sebelum pertandingan dimulai. Bahkan, dia sudah mendengar tim-tim mana saja yang akan terdegradasi dari Liga 2 musim lalu sebelum kompetisi berakhir.
”Klub ini korban ketakutan. Kalau kita tidak ikut (mafia bola), akan digilas. Di putaran pertama, sudah ada yang menawarkan kepada saya agar tidak terdegradasi. Saya katakan kami tak mempunyai uang,” ujarnya.
Ketua PSSI Asprov Jabar Tommy Apriantono mengatakan, sebagian besar praktik pengaturan skor di dunia terkait perjudian. Namun, menurut dia, kasus di Indonesia lebih rumit karena juga menyangkut promosi dan degradasi klub.
”Ada satu lagi. Agen pemain juga bisa ikut campur. Sebab, agen mempunyai beberapa pemain di dua klub yang sedang bertanding,” ujarnya.
Masa depan satgas
Sejak dibentuk pada Desember 2016, Satgas Antimafia Bola diberikan waktu enam bulan untuk bekerja. Namun, Tommy berharap fungsi satgas tetap berlanjut untuk menindak praktik mafia dalam sepak bola Indonesia pada masa mendatang.
”Pengaturan skor adalah perbuatan paling jahat dan paling menjijikkan. Jadi, pemberantasan terhadap mafia sepak bola tidak boleh berhenti,” ujarnya.
Manajer Persib Umuh Muchtar mendukung keberlangsungan pengungkapan praktik mafia sepak bola. Dia menyoroti kepemimpinan wasit dalam beberapa pertandingan Persib yang diduga sudah direncanakan untuk merugikan timnya.
”Dalam satu pertandingan, bola sudah masuk dan jaring gawang lawan bergetar. Namun, tak disahkan menjadi gol oleh wasit. Mungkin wasitnya takut tidak mendapat jatah di pertandingan selanjutnya,” ujarnya.
Pengamat sepak bola Tommy Welly mengatakan, fungsi pengawasan praktik mafia sepak bola perlu dilanjutkan. Sebab, kasus pengaturan skor masih masif dan melibatkan banyak pihak.
”Apakah bentuknya tetap satgas terpisah atau di dalam federasi, itu bisa dipikirkan. Yang jelas praktik penegakan hukumnya harus tetap berjalan,” ujarnya.