Din Syamsuddin Serukan Teologi Bersama tentang Kerukunan
Oleh
Andy Riza Hidayat
·2 menit baca
MOSKWA, KOMPAS — Prof Din Syamsuddin selaku Co-President of World Conference on Religions for Peace (Religions for Peace International) menyerukan pentingnya teologi bersama. Teologi bersama (shared theology) yang dimaksud mengedepankan kemajemukan, hidup berdampingan secara damai, toleransi, dan kerukunan.
Menurut Din, walau ada perbedaan pada sistem kredo, yakni konsepsi tentang Tuhan, semua nilai yang ada memiliki titik singgung tentang kemajemukan, koeksistensi, toleransi, dan kerukunan. Titik singgung ini hanya dapat dilihat jika keberagamaan sejati diletakkan pada kemanusiaan.
”Beragama sejatinya untk manusia dan kemanusiaan,” kata Din yang juga President of Asian Conference on Religions for Peace (ACRP) agama-agama di dunia, sebagaimana informasi yang diterima Kompas, Rabu (27/3/2019).
Menurut Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini, Islam sangat menekankan aspek humanis keberagamaan ini. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan Al Quran bahwa misi kerasulan Muhammad SAW adalah menyebar rahmat bagi seluruh umat manusia, bahkan alam semesta (rahmatan lil \'alamin).
Sudah saatnya, kata Din, perlu ada pengembangan teologi kerukunan, bahkan, antar-agama yang berbasis pada humanisme religius ini. Din meyakini, jika teologi semacam itu dikembangkan atau diarusutamakan, sebagian masalah peradaban manusia dan kemanusiaan dapat ditanggulangi.
Pandangan ini disampaikan Din Syamsuddin saat berbicara pada pertemuan para tokoh agama dunia di Moskwa, Rusia, 25 Maret 2019 waktu setempat. Pertemuan sehari itu mengambil tema ”Ways to Achieve Interreligious Peace: Roles of Theologians, Diplomat, and Public Figures”.
Pertemuan diselenggarakan bersama Kantor Dewan Mufti Rusia, Russian Orthodox Church, dan ISESCO (Organisasi Islam untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan berpusat di Jerusalem), dihadiri sekitar 150 tokoh berbagai agama dari beberapa negara di dunia.
Di Indonesia, fenomena pengusungan isu agama yang sarat nuansa pragmatisme akhir-akhir ini dinilai menguat. Kemunculannya atas nama pribadi dan kelompok tertentu dalam wujud bahasa, atribut, dan simbol agama ke ruang publik yang ujung-ujungnya menandaskan diri sendiri atau kelompoknya paling religius.
Pada saat yang sama, mereka memperlihatkan kekurangbenaran, kesesatan, bahkan ketakberagamaan orang dan kelompok lain. Pandangan ini disampaikan Abd A’la, pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Sumenep, di Kompas, Rabu (13/3/2019).