JAKARTA, KOMPAS -- Amerika Serikat menunjukkan sinyal akan mengalami resesi. Akan tetapi, sinyal tersebut dinilai tidak berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang pada Indonesia.
Menurut Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amalia Adininggar Widyasanti, fenomena resesi di AS merupakan bagian dari siklus perekonomian. "Artinya, dampaknya (terhadap perekonomian Indonesia) bersifat jangka pendek," ucapnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Gejala resesi AS ditandai dengan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah yang bertenor tiga bulan lebih tinggi dibandingkan yang bertenor 10 tahun. Hal ini bersifat anomali karena normalnya, obligasi yang bertenor lebih pendek memiliki nilai imbal hasil yang lebih rendah.
Pada akhir pekan lalu, untuk pertama kalinya sejak Resesi Besar (Great Recession) AS, anomali tersebut terjadi. Imbal hasil obligasi bertenor tiga bulan bernilai 2,46 persen sedangkan obligasi bertenor 10 tahun bertenor 2,43 persen.
Fenomena tersebut pernah terjadi pada 2006 sebagai gejala Resesi Besar yang melanda AS pada 2007. Resesi itu ditunjukkan dengan kelesuan ekonomi terutama di sektor dagang dan industri.
Fenomena resesi di AS merupakan bagian dari siklus perekonomian. Artinya, dampaknya (terhadap perekonomian Indonesia) bersifat jangka pendek.
Anomali tersebut, menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal, menandakan peralihan faktor ekspektasi pada investor. Investor obligasi pemerintahan AS tampak menghindari investasi dengan tenor tiga bulan karena merasa khawatir dengan ketidakpastian yang dapat terjadi secara jangka pendek.
Fithra menambahkan, peralihan ekspektasi tersebut tampak dari pergerakan imbal hasil. "Jika permintaan terhadap obligasi tinggi, nilai imbal hasilnya akan rendah," ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
AS merupakan negara nomor dua yang menjadi tujuan ekspor Indonesia dengan pangsa pasar sebesar 11,54 persen dibanding 26 negara lainnya menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari-Februari 2019. Meskipun demikian, menurut Fithra, sinyal resesi AS tidak akan menimbulkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh, perekonomian nasional lebih rentan terhadap tekanan yang bersifat domestik.
Di Indonesia, sinyal resesi AS menimbulkan sentimen yang mempengaruhi pasar saham nasional pada Senin (25/3/2019). Indeks harga saham gabungan ditutup di zona merah dengan angka 6.411, 251 poin atau melemah 1,75 persen dibanding saat pembukaan.
Penutupan di zona merah tersebut disebabkan aksi jual saham dari investor luar negeri akibat sentimen yang ditimbulkan dari sinyal resesi AS. Fithra menuturkan, investor luar negeri lebih khawatir terhadap dampak resesi AS di Indonesia ketimbang resesi yang terjadi di AS. Faktor risiko investasi di AS masih lebih rendah dibandingkan di Indonesia.
Pengaruh sinyal resesi AS di pasar saham merupakan dampak yang dirasakan Indonesia dalam jangka pendek. Ekonom PT Bank DBS Indonesia Masyita Crystallin berpendapat, dampak jangka panjang yang dirasakan Indonesia dapat tercermin di sektor riil secara fundamental. "Ekonomi Indonesia (secara jangka panjang) tetap akan tumbuh dengan baik dengan adanya kebijakan fiskal dan makro yang pruden," ucapnya. (AP)