WELLINGTON, SENIN — Selandia Baru akan membentuk Komite Penyelidikan Kerajaan terkait dengan teror dua masjid di Christchurh. Komite itu akan memeriksa peran intelijen, media sosial, dan peredaran senjata sebelum teror terjadi.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengumumkan pembentukan komite itu. ”Saat warga Selandia Baru dan komunitas Muslim di seluruh dunia berduka dan saling menunjukkan kasih, mereka bertanya mengapa, bagaimana teror terjadi di sini,” ujarnya, Senin (25/3/2019), di Wellington.
Anggota kabinet setuju dengan ide itu. Ardern mengatakan, komite biasanya dibentuk untuk masalah terburuk terkait dengan kepentingan publik. Kasus Christchurch jelas layak untuk diperiksa komite itu. Batasan waktu dan area penyelidikan akan ditetapkan dalam dua pekan ke depan.
”Singkatnya, penyelidikan akan melihat apa yang bisa atau seharusnya dilakukan untuk mencegah serangan. Komite akan menyelidiki individu dan aktivitasnya sebelum serangan teror, termasuk, tentu saja, menilik sejumlah lembaga,” tuturnya.
Lembaga-lembaga itu termasuk badan intelijen dalam negeri, Layanan Keamanan Intelijen (SIS), dan badan intelijen luar negeri, Biro Keamanan Komunikasi Pemerintah (GCSB). Lembaga lain yang akan diperiksa adalah polisi, bea dan cukai, serta imigrasi.
Komite kerajaan bekerja secara mandiri dari pemerintah dan biasanya dipimpin hakim mahkamah tinggi. Komite itu berwenang memanggil saksi dan meminta organisasi menyerahkan dokumen. Akan tetapi, tetap tergantung dari pemerintah atau pengadilan untuk menindaklanjuti temuan komite.
Selandia Baru pernah membentuk komite kerajaan untuk menyelidiki kasus tambang batubara di Sungai Pike pada 2010 dan bangunan runtuh selama gempa di Christchurh pada 2011. Kini masih ada komite untuk memeriksa kewenangan dalam pengelolaan kesehatan negara.
”Pengumuman soal penyelidikan adalah keputusan besar dan tepat. Saya berharap akan jadi penyelidikan inklusif dan peluang bagi komunitas Muslim memberi masukan pada panduannya. Penting melakukan ini secara benar agar kita bisa belajar dari kesalahan,” kata pendamping komunitas Muslim Selandia Baru, Guled Mire.
Kritik intelijen
Sejumlah pihak sudah mengkritik lembaga-lembaga intelijen yang dinilai terlalu fokus pada potensi teror oleh kelompok kiri dan Muslim. Pada saat yang sama, tidak ada telaah mendalam pada kemungkinan serangan oleh kelompok ultranasional dan supremasi kulit putih.
”Akan ada fokus apakah komunitas intelijen mengalokasikan sumber daya secara layak dan akan ada laporan apakah ada laporan yang dapat, atau seharusnya, memperingatkan mereka pada serangan ini. Penting untuk memastikan tidak ada yang terlewat untuk mencari tahu bagaimana teror terjadi dan apa, jika ada, peluang kita menghentikannya,” tutur Ardern.
Kamis lalu, Pemerintah Selandia Baru mengumumkan akan segera membuat undang-undang baru untuk melarang penggunaan senapan otomatis. Ardern juga mengeluhkan soal video serangan yang masih ada di media sosial. Ia meminta jaminan dari petinggi perusahaan media sosial untuk memastikan hal serupa tidak terjadi lagi.
Mantan pegawai SIS yang kini jadi analis keamanan di Universitas Massey, Rhys Ball, mengatakan, komite seharusnya melibatkan lembaga intelijen. ”Saya tahu ekstremisme sayap kanan selalu dipertimbangkan sebagai potensi masalah dan diawasi berkala serta diselidiki. Ada banyak kegagalan, hal yang dilewatkan. Akan tetapi, hanya adil jika diterapkan kepada semua yang terlibat,” ujarnya. (AP/REUTERS)