Pertemuan pengusaha India dengan pemangku kepentingan industri sawit Indonesia, di Medan, Sumatera Utara, Selasa (26/3/2019), menggagas pendanaan promosi sawit.
Oleh
Nikson Sinaga
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pertemuan pengusaha India dengan pemangku kepentingan industri sawit Indonesia, di Medan, Sumatera Utara, Selasa (26/3/2019), menggagas pendanaan promosi sawit. Promosi itu penting karena volume ekspor minyak sawit Indonesia ke India stagnan dalam lima tahun terakhir meskipun tetap menjadi negara tujuan ekspor yang paling besar.
Pendanaan tersebut digagas dalam kelompok kerja bersama yang dihadiri delegasi perusahaan pengolahan minyak nabati asal India yang bernaung di bawah The Solvent Extractors Association (SEA) of India, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Solidaridad Network Asia Limited, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Ketua Umum DMSI Derom Bangun mengatakan, pertemuan itu membuat kesepahaman untuk mempromosikan sawit berkelanjutan di India. Promosi akan dilakukan tahun ini secara masif melalui media massa di India. ”Pendanaan promosi ini akan melibatkan DMSI, SEA, Solidaridad, dan BPDPKS,” kata Derom.
Derom mengatakan, India adalah salah satu pasar minyak sawit yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dengan populasi 1,3 miliar jiwa, konsumsi minyak nabati di India 23,5 juta ton per tahun. Namun, baru sekitar 9 juta ton yang dipenuhi dari minyak sawit, sebanyak 6 juta ton dipasok dari Indonesia.
Ekspor minyak sawit Indonesia ke India dalam lima tahun belakangan terus stagnan berkisar 6-7 juta ton per tahun. Meski demikian, India tetap menjadi negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia yang terbesar. Pasar ekspor lainnya adalah China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
President SEA of India Atul Chaturvedi, yang menjadi ketua delegasi para pengusaha India, mengatakan, konsumsi minyak sawit India stagnan karena kampanye hitam. Padahal, konsumsi minyak nabati terus meningkat. Pertumbuhan konsumsi ini dipenuhi dengan minyak kedelai dan bunga matahari yang lebih mahal.
”Sebagai konsumen, kami berkepentingan mendapat minyak nabati berkualitas baik dengan harga yang murah,” kata Atul.
Selain karena kampanye negatif, kata Atul, konsumsi minyak sawit India stagnan karena tingginya bea keluar minyak sawit di Indonesia dan bea masuk di India. Ia berharap, pemerintah kedua negara bisa menegosiasikan hal tersebut agar menguntungkan bagi perdagangan mereka.
”Berbagai tantangan ini membuat konsumsi minyak sawit India tidak bertumbuh. Kami hanya bisa memenuhi 50 persen dari kapasitas pabrik pengolahan minyak sawit yang ada. Ini gejala yang tidak baik bagi kami,” kata Atul.
Direktur Penyaluran Dana BPDPKS Edi Wibowo menyatakan mereka siap membiayai promosi sawit berkelanjutan di India. Mereka menunggu proposal bersama dari SEA, DMSI, dan Solidaridad.
Edi mengatakan, selama ini mereka juga sudah membiayai promosi sawit, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Alokasi anggaran untuk promosi dan advokasi sawit sekitar Rp 200 miliar per tahun atau 2 persen dari total Rp 10 triliun anggaran BPDPKS. Anggaran untuk promosi masih sangat sedikit dibandingkan untuk pembiayaan biodiesel yang mencapai 70 persen.
Asisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura Kemenko Perekonomian Wilistra Danny mengatakan, pemerintah akan menegosiasikan bea masuk minyak sawit yang cukup tinggi di India, yakni 44 persen untuk minyak sawit mentah dan 55 persen untuk turunannya. Pemerintah Indonesia akan bernegosiasi dengan cara meningkatkan impor gula dan daging kerbau dari India.