Obat Gratis Saja Tidak Cukup, Pasien TB Harus Dipastikan Minum Obat sampai Tuntas
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Kompas
Penggunaan masker bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit tuberkulosis (TB). Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara ketiga dengan pasien TB terbanyak setelah China dan India.
DEPOK, KOMPAS — Disiplin pasien tuberkulosis dalam proses pengobatan menentukan keberhasilan angka kesembuhan. Jika putus berobat, tidak saja bisa menular, bakteri pada pasien bisa resisten sehingga semakin sulit diobati. Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya putus obat. Salah satunya, keterbatasan akses dalam mendapatkan obat.
Dalam pengobatan tuberkulosis (TB), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) atau strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Setidaknya selama enam bulan penuh pasien harus minum 5-28 obat setiap hari. Cara ini dinilai efektif dan efisien menanggulangi TB.
Anggota staf Departemen Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Astuti Yuni Nursasi, di Rumah Sakit UI, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (26/3/2019), menyampaikan, pasien TB rentan mengalami putus obat karena proses pengobatan yang cukup lama. Pasien kerap jenuh untuk minum obat. Apalagi jika pasien tidak dapat dukungan penuh dari keluarga, bahkan dikucilkan.
Penanggulangan TB saat ini sudah menjadi program nasional. Obat TB pun sudah diberikan secara gratis bagi pasien. ”Namun, obat gratis saja tidak cukup. Pasien perlu ongkos untuk mengambil obat ke puskesmas. Pasien juga butuh dukungan moral dan pengawasan agar obat dipastikan diminum sampai tuntas,” ujarnya dalam acara ”Bicara Sehat: Saatnya Saya Peduli untuk Keluarga Bebas TB” di Rumah Sakit UI.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Astuti Yuni Nursasi
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular melalui udara atau percikan dahak saat pasien batuk, bersin, berbicara, ataupun meludah. Gejala umumnya seperti batuk lebih dari tiga minggu, keringat pada malam hari tanpa aktivitas bermakna, mudah lelah, serta berat badan turun tanpa sebab yang jelas.
Menurut Yuni, sejumlah pasien TB masih kesulitan dalam mengakses obat. Permasalahannya bukan karena pasien tidak ingin mengambil obat tersebut, melainkan tidak memiliki ongkos untuk datang ke layanan kesehatan. Untuk itu, pemerintah didorong untuk menyelesaikan kendala ini agar penanggulangan TB bisa ditangani secara komprehensif.
Kendala penanggulangan
Berbagai kendala dalam penanggulangan TB di Indonesia membuat angka pasien di Indonesia masih tinggi. WHO melaporkan, Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah pasien TB tertinggi setelah China dan India.
Berdasarkan Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu Kementerian Kesehatan per Januari 2019, jumlah pasien TB di Indonesia diperkirakan 842.000 orang. Sebanyak 39 persen di antaranya belum terdeteksi sehingga belum mendapatkan pengobatan. Setidaknya ada 4.400 pasien TB resisten obat (RO) yang telah ternotifikasi.
Dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Rumah Sakit UI, Irandi Putra Pratomo, menuturkan, perawatan pada pasien TB RO lebih sulit dan waktu pengobatannya pun lebih lama. Jika pada TB biasa pengobatannya selama enam bulan penuh, pasien TB RO harus mengonsumsi obat setiap hari secara teratur minimal selama dua tahun. Obat yang diminum pun relatif lebih banyak, yakni sampai 20 butir per hari.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Irandi Putra Pratomo
Untuk itu, kepatuhan dalam mengonsumsi obat menjadi kunci kesembuhan pasien TB. Pemerintah telah berupaya mengeliminasi TB melalui inisiatif TOSS TB atau temukan obati sampai sembuh pasien TB.
”Kesadaran untuk deteksi TB sejak dini juga berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan. Jika sudah ada gejala, masyarakat jangan ragu untuk langsung periksa ke layanan kesehatan. Setelah selesai masa pengobatan, pasien juga harus melaporkan dan memeriksa diri kembali ke dokter untuk dipastikan sudah sembuh,” kata Irandi.