Dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2019, Presiden Joko Widodo memaparkan kinerja investasi dan ekspor yang belum maksimal. Bahkan, Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga.
Saat itu, Presiden meminta gubernur dan bupati/wali kota untuk gencar mengupayakan hilirisasi. Dengan cara itu, Indonesia tidak hanya mengekspor komoditas mentah atau bahan yang sangat sedikit diolah, seperti karet, sawit, kopra, dan batubara. Namun, diharapkan juga ada nilai tambah dalam produk hilirisasi.
Ibarat resep makanan, pengusaha dan pejabat publik mungkin sudah tahu cara-cara meningkatkan ekspor. Namun, yang kerap terjadi, resep itu belum sepenuhnya dipraktikkan. Misalnya, kerja sama perdagangan bebas secara bilateral dengan negara-negara tujuan ekspor potensial, seperti India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jika kerja sama tak dipercepat, produk ekspor Indonesia tidak mudah bersaing dengan produk ekspor dari negara-negara kompetitor, seperti Vietnam dan Malaysia.
Sebab, dengan perbedaan bea masuk, produk Indonesia menjadi sulit bersaing menghadapi produk-produk negara tetangga. Kendati perusahaan industri Indonesia memiliki tingkat efisiensi yang sama dengan industri dari negara pesaing, produk industri Indonesia akan kalah bersaing karena perbedaan tarif bea masuk di pasar tujuan ekspor.
Resep lain yang sebenarnya cukup efektif memberi rangsangan ekspor adalah insentif pajak. Saat ini, misalnya, ada fasilitas dan kemudahan bagi pelaku industri yang mengimpor bahan baku yang diproduksi untuk tujuan ekspor atau kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). Namun, apakah ada juga insentif atau fasilitas bagi pelaku usaha yang mendapatkan bahan baku lokal untuk tujuan ekspor atau berbalikan dengan KITE, yaitu kemudahan lokal tujuan ekspor.
Cukup banyak pelaku industri yang memperoleh bahan baku dari lokal, seperti benang atau kain di industri tekstil untuk diproduksi menjadi pakaian jadi yang diekspor.
Insentif lain berupa pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan sebaiknya diberikan kepada pelaku industri yang 100 persen atau 50 persen hasil produksinya diekspor dan memiliki tenaga kerja sejumlah tertentu.
Untuk menggenjot ekspor, tentu tidak hanya produk berbasis sumber daya alam atau manufaktur yang menjadi prioritas. Produk jasa pun perlu terus diupayakan untuk menembus pasar luar negeri.
Contohnya, banyak restoran yang dikemas ala Korea, Jepang, Eropa, atau Amerika yang masuk ke pasar dalam negeri. Namun, tidak banyak restoran Indonesia yang bisa masuk ke negara lain. Padahal, industri jasa boga dengan produk kuliner Indonesia berpotensi dipromosikan.
Produk jasa lain terkait industri kreatif—yang dalam empat tahun terakhir didorong Presiden Joko Widodo, antara lain jasa pembuatan film animasi, desain, arsitektur, perhiasan, dan permata—juga dapat menjadi andalan ekspor sektor jasa. Ekspor produk jasa sebenarnya juga dapat diarahkan ke pasar-pasar negara tetangga. Jika sudah masuk, tidak tertutup kemungkinan peluang pasar semakin besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang 2018, neraca perdagangan RI defisit 8,496 miliar dollar AS.
Melalui berbagai upaya yang konsisten untuk mempraktikkan resep peningkatan ekspor nonmigas, diharapkan ekspor nonmigas dapat meningkat. Defisit bisa berbalik menjadi surplus.