Soal Data Hak Guna Usaha Lahan, Pemerintah Dilaporkan ke Polisi
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil Buka Data Hak Guna Usaha atau HGU lahan dan hutan ke Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta, Senin (25/3/2019). Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Abdul Djalil dilaporkan karena tak kunjung membuka data HGU lahan dan hutan di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil menuntut pemerintah untuk membuka dokumen HGU lahan dan hutan. Keterbukaan informasi itu bisa menjadi pijakan dalam menyelesaikan persoalan pemanfaatan hutan dan lahan yang terus berlangsung.
”Sejak lama desakan membuka HGU telah disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil, salah satunya diupayakan oleh LBH Papua terkait ekspansi perkebunan sawit. Keterbukaan HGU untuk mengurai ketimpangan kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, distribusi, dan akses atas sumber daya agraria,” ucap Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnama Sari di Bareskrim Polri, Jakarta.
Koalisi tersebut terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Forest Watch Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch, Greenpeace, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Auriga, AMAN, ICEL, Elsam, dan Jatam.
Tuntutan buka data HGU berawal dari LBH Papua yang mengajukan sengketa informasi publik terhadap Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua atas informasi data HGU 31 perusahaan perkebunan sawit.
Pada 28 Mei 2018, LBH Papua memenangi sengketa informasi tersebut. Komisi Informasi Publik Papua memutuskan bahwa Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua wajib membuka informasi data HGU 31 perusahaan perkebunan sawit.
Namun, sampai saat ini hal itu belum terwujud. Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua beralasan, dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan BPN RI Pasal 12 Ayat 4 Huruf i diatur bahwa beberapa informasi yang dikecualikan untuk umum, antara lain buku tanah, surat ukur, dan warkahnya.
Selain itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Abdul Djalil menyatakan menolak membuka HGU karena membahayakan kepentingan nasional. Terkait pernyataan menteri, YLBHI mengirimkan somasi atas nama koalisi tersebut pada 11 Maret 2019.
Tuntutan keterbukaan HGU juga telah disampaikan Forest Watch Indonesia (FWI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, Senin (4/3/2019). Mereka menginginkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN membuka informasi itu. Sebab, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/TUN/2017, HGU adalah dokumen publik.
Lapor Ombudsman RI
Manajer Kampanye dan Advokasi Kebijakan FWI Mufti Barri mengatakan, putusan Mahkamah Agung menguatkan gugatan yang diajukan FWI ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk mengungkap nama pemegang HGU, lokasi, luas HGU yang diberikan, jenis komoditas, dan peta areal HGU.
Namun, setelah sekitar 2 tahun, FWI tak kunjung mendapatkan dokumen itu. Setiap ditanya, kementerian beralasan sedang menyusun peraturan prosedur penyerahan dokumen. ”Mungkin karena banyaknya masalah (pada HGU), pemerintah enggan membuka dokumennya ke publik,” kata Mufti.
FWI juga telah melaporkan kepada Ombudsman Republik Indonesia terkait persoalan ini. Ombudsman mengupayakan mediasi FWI dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN terkait cara penyerahan dokumen.
Menurut Mufti, pada HGU terdapat kompilasi berbagai persoalan tata kelola hutan dan lahan di tiap tingkat perizinan, mulai dari pelepasan lahan hingga terbitnya HGU. Oleh karena itu, dokumen HGU penting untuk dibuka kepada publik untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Tertutupnya informasi menjadi pemicu persoalan tumpang tindih perizinan, konflik lahan (tenurial) berkepanjangan, dan peningkatan ancaman deforestasi.
Hasil analisis FWI, setidaknya 4,3 juta hektar luas HGU dipakai untuk perkebunan. Namun, dari jumlah itu, hanya 2,8 juta hektar yang dikelola dan ditanami dengan tanaman perkebunan.
Sekitar 1,5 juta hektar sisanya terindikasi tidak digunakan sesuai peruntukannya. Dari kajian itu, juga terindikasi sekitar 344.000 hektar yang masih berfungsi sebagai hutan dan terancam deforestasi.
Sementara itu, berdasarkan kajian overlay sementara, AMAN mencatat dari 9,6 juta hektar wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, sedikitnya 313.000 hektar tumpang tindih dengan konsesi HGU. Lahan itu tersebar di 307 komunitas adat. Kondisi itu memicu konflik lahan antara masyarakat adat dan korporasi.
Mekanisme penyerahan
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bagian Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Horison Mocodompis mengatakan, pihaknya telah mendapatkan informasi terkait pelaporan tersebut. Pihaknya sedang mendalami informasi ke direktorat jenderal teknis terkait.
Menurut Horison, Kementerian sedang mempersiapkan mekanisme penyerahan berupa petunjuk teknis tentang Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU sebagai instrumen pelaksanaan.
Kementerian juga masih dalam proses sidang dan konsultasi dengan Komisi Informasi Pusat dan Ombudsman untuk mendapatkan masukan ataupun rekomendasi terkait petunjuk teknis itu.
Horison mengakui bahwa dokumen HGU berdasarkan ketentuan perundang-undangan memang bisa dibuka kepada masyarakat yang memiliki keperluan atau hubungan hukum terhadapnya. Namun, dalam proses pembukaan data kepada publik, harus dipastikan semua sesuai mekanisme dan aturan.
”Jangan sampai ada ketentuan perundangan yang dilanggar. Misalnya, tentang hak privat atau hak keperdataan. Tidak ada (alasan memperlambat), selain keinginan untuk memastikan bahwa pelaksanaannya nanti tidak melanggar aturan perundangan yang lain,” kata Horison.
Sementara itu, Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana Sunarkha menjelaskan, sesuai regulasi yang berlaku, Komisi Informasi bertugas memutus sengketa informasi. Setelah diputus, ada jangka waktu 14 hari sebelum menjalankan putusan. Dalam jangka waktu tersebut, pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
”Jika tidak ada keberatan, putusan harus dijalankan. Mestinya wajib (jalankan putusan), tetapi Komisi Informasi tidak berwenang memberikan hukuman jika ada pihak yang tidak menjalankan putusan. Tidak ada aturan yang mengatur terkait hukuman. Namun, putusan adalah final dan mengikat,” kata Gede. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)