"Link and Match" Juga Menjadi Tanggung Jawab Industri
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Perguruan tinggi dituntut membangun keterkaitan dan kesepadanan dengan industri. Ini bukan tanggung jawab perguruan tinggi semata, melainkan juga industri yang harus siap bekerja sama dengan perguruan tinggi.
JAKARTA, KOMPAS – Keterkaitan dan kesepadanan antara perguruan tinggi dengan dunia usaha dan industri tidak terlepas dari kesiapan dunia industri itu sendiri dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Tanpa ada kesepakatan untuk saling mendorong, kedua belah pihak akan kesulitan mengembangkan riset.
Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono ketika dihubungi di Yogyakarta pada Sabtu (23/3/2019) mengatakan bahwa perguruan tinggi harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan situasi pasar. Caranya adalah setiap program studi (prodi) dan fakultas harus pandai mengembangkan kurikulum masing-masing.
Dari segi nama prodi juga bisa diubah agar sesuai dengan isi kurikulum dan mengena ke kebutuhan sekarang. Selain itu, apabila memungkinkan juga bisa dibuka prodi baru yang berbeda dari prodi-prodi sebelumnya.
Rektor Institut Teknologi Bandung Kadarsyah Suryadi juga mengatakan, link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara dunia pendidikan dengan dunia industri adalah keharusan. "Tapi, industri juga harus siap bekerja sama dengan perguruan tinggi, kalau bisa lebih dari sekadar memberi peluang magang dan praktik kerja lapangan,” katanya di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Industri juga harus siap bekerja sama dengan perguruan tinggi, kalau bisa lebih dari sekadar memberi peluang magang dan praktik kerja lapangan.
Ia mengatakan, dalam era Revolusi Industri 4.0, perguruan tinggi memiliki banyak tantangan. Ilmu pengetahuan kini bisa diakses secara bebas dan luas melalui internet sehingga peningkatan kompetensi tidak melulu harus lewat lembaga resmi. Selain itu, mobilitas penduduk, uang, dan barang juga semakin cepat dan tersebar.
Kerja sama
Sejatinya, dunia industri cepat menangkap perubahan dan tren karena mereka bergerak berdasarkan kemauan pasar. Sebaliknya, perguruan tinggi belum terlalu cepat menangkap keinginan pasar karena masih mempertimbangkan berbagai sisi akademis dan sains. Kerja sama dengan perguruan tinggi berupa penerimaan mahasiswa magang, pengembangan riset, dan mendatangkan para profesional di industri sebagai dosen tamu di perguruan tinggi.
“Permasalahannya, belum semua aspek dunia industri siap dengan perubahan atau pun memiliki strategi untuk berkembang,” ujar Kadarsyah.
Ia mengemukakan, perkembangan zaman akan terus membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru. Dalam hal ini, terjadi juga disrupsi besar-besaran di dunia industri yang belum seluruhnya memahami, apalagi mampu mengimbangi perubahan. Dengan fakta ini, akan sukar menerapkan kemitraan industri dengan perguruan tinggi.
Menurut dia, disrupsi dan perkembangan teknologi tidak bisa diselesaikan semata-mata dengan membuka program studi baru. Harus ada analisa kebutuhan yang teliti. Apabila kebutuhan industri dan masyarakat memang mengharuskan adanya prodi baru, kebijakan pemerintah juga harus akomodatif.
Disrupsi dan perkembangan teknologi tidak bisa diselesaikan semata-mata dengan membuka program studi baru. Harus ada analisa kebutuhan yang teliti.
Selain itu, pada prodi-prodi yang sudah ada penyampaian materi perkuliahan dan praktiknya tetap harus dimutakhirkan agar kontekstual dengan permasalahan di lapangan sehingga terus menjadi relevan bagi masyarakat.
Kadarsyah menuturkan, tidak semua jenis industri perlu masuk ke tahap 4.0.
Pembuatan batik tulis dan tenun misalnya, tetap menggunakan metode industri 1.0. Akan tetapi, cara pengelolaan bisnis dan pemasarannya bisa dikelola sesuai kebutuhan sekarang. Dalam hal ini perguruan tinggi juga harus memetakan kemungkinan jenis industri yang bisa dijadikan mitra.
“Pemaksaan”
Menurut Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal sebaiknya ada “pemaksaan” dari pemerintah bagi industri untuk bekerja sama dengan perguruan tinggi. Sebagai balasannya, perusahaan bisa diberi berbagai insentif oleh negara.
Syaratnya adalah perusahaan jangan hanya mengincar perguruan tinggi yang sudah mapan seperti Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), melainkan juga menggandeng perguruan tinggi yang masih berkembang agar bisa turut maju.
Perusahaan jangan hanya mengincar perguruan tinggi yang sudah mapan, melainkan juga menggandeng perguruan tinggi yang masih berkembang.
“Dari sisi pembukaan prodi, perguruan tinggi selain PTN-BH membutuhkan delapan bulan hingga satu tahun untuk mendapat izin operasional dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,” tuturnya.
Persyaratannya adalah setiap prodi baru wajib memiliki minimal enam dosen tetap dengan gelar S2 dan satu orang guru besar. Hal ini juga yang membuat perguruan tinggi yang bukan PTN-BH, apalagi yang berada di luar Jawa kesulitan membuka prodi karena sukar mendapat sumber daya pengajar yang sesuai.