Likuiditas Terkonsentrasi
JAKARTA, KOMPAS
Strategi operasi moneter difokuskan untuk mendistribusikan likuiditas agar lebih merata. Sebab, saat ini sebenarnya likuiditas tidak ketat.
Meski demikian, diakui Bank Indonesia, aliran dana terkonsetrasi di bank-bank tertentu.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah menuturkan, ketersediaan likuiditas di pasar keuangan memadai. Namun, distribusinya tidak merata. Dengan penumpukan likuiditas di bank-bank tertentu, maka ada potensi pengetatan likuiditas di bank konvensional bank umum kegiatan usaha (BUKU) I dan BUKU II.
BUKU I adalah bank dengan bank dengan modal inti Rp 1 triliun, sedangkan BUKU II memiliki modal Rp 1 triliun-Rp 5 triliun.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, Januari 2019, ada 115 bank umum di Indonesia dan 1.593 bank perkreditan rakyat di Indonesia.
“Ada bank-bank yang sebenarnya likuditasnya tinggi sekali. Intinya, likuiditas di pasar keuangan memadai, tetapi distribusi yang jadi persoalan,” kata Nanang dalam temu media di Yogyakarta, Minggu (24/3/2019).
Nanang mengatakan, likuditas dibedakan menjadi jangka pendek dan jangka panjang. Pengetatan yang terjadi pada BUKU I dan BUKU II tergolong likuiditas jangka panjang. Sebab, bank harus menaikkan suku bunga deposito dan suku bunga dana pihak ketiga untuk menarik dana nasabah.
Likuiditas jangka panjang ini dipengaruhi berbagai faktor, antara lain aktiva luar negeri bersih yang rendah akibat arus modal keluar, tagihan bersih kepada pemerintah pusat yang rendah, dan suku bunga tabungan yang rendah.
Menurut Nanang, distribusi likuiditas yang tidak merata juga tercermin dari hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang cukup besar. Dana yang dihimpun pada lelang pekan lalu Rp 27 triliun. Hal itu bisa diartikan, likuiditas bank banyak yang ditempatkan pada instrumen jangka panjang, misalnya SBI tenor 12 bulan.
“Jadi, kalau dikatakan ketat, mereka (bank) berani menempatkan di instrumen jangka panjang. Namun, itu bagi bank-bank yang likuiditasnya banyak,” kata Nanang.
Untuk mendistribusikan likuiditas, lanjut Nanang, BI menyerap likuiditas melalui lelang reverse repo Surat Utang Negara (SUN) mulai 1 pekan sampai dengan 9 bulan, serta SBI sampai 12 bulan.
Berebut dana
Nanang menambahkan, pengetatan likuiditas juga dipengaruhi faktor musiman. Misalnya, pada akhir Maret, kebutuhan likuiditas tinggi untuk pembayaran pajak serta pada April untuk pembayaran pajak korporasi dan repatriasi deviden. Likuditas paling ketat umumnya terjadi bulan Desember karena dibarengi libur panjang akhir tahun.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Kiryanto berpendapat, ada potensi perebutan dana masyarakat, antara investasi di instrumen perbankan dan instrumen yang diterbitkan pemerintah. Tahun ini pemerintah menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 800 triliun, yang terdiri SBN baru dan SBN jatuh tempo.
Untuk mencegah persaingan perebutan dana ketiga, debitur yang memperoleh kredit wajib menggunakan produk dari bank pemberi kredit. Transaksi keuangan tetap menggunakan produk bank agar likuiditas tetap berputar.
“Minimal 30 persen transaksi keuangan lewat bank,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Ryan, korporasi tak hanya mengandalkan sumber pendanaan dari kredit perbankan. Mereka juga memanfaatkan jalur pasar modal, seperti penawaran saham perdana dan penerbitan surat utang. Pendalaman pasar keuangan di Indonesia kian meningkat sehingga investor punya banyak pilihan.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI Yoga Affandi menambahkan, BI berupaya memperdalam pasar keuangan. Salah satunya, melalui transaksi derivatif suku bunga rupiah. Hal ini sebagai upaya untuk menyediakan alternatif instrumen lindung nilai terhadap perubahan suku bunga domestik. (KRN)