JAKARTA, KOMPAS— Gubernur Aceh (nonaktif) periode 2017-2022 Irwandi Yusuf dituntut sepuluh tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Ia diyakini bersalah atas kasus dugaan penerimaan suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi dan menerima gratifikasi.
Tuntutan tersebut disampaikan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin malam (25/3/2019). Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Saifudin Zuhri.
“Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Kedua, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan beberapa perbuatan menerima gratifikasi, ” kata jaksa Ali Fikri.
Jaksa juga menuntut agar majelis hakim mencabut hak politik Irwandi selama lima tahun.
Perbuatan terdakwa, dinilai jaksa, tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan menciderai tatanan birokrasi pemerintahan yang seharusnya terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Irwandi juga dinilai tidak mengakui dan menyesali perbuatannya dalam melakukan korupsi.
Adapun hal yang meringankan adalah Irwandi belum pernah dihukum dan berperilaku sopan selama persidangan. Irwandi juga dinilai berjasa dan berperan penting dalam mewujudkan perdamaian di Aceh.
Jaksa meyakini, Irwandi terbukti menerima suap Rp 1,05 miliar dari Bupati Bener Meriah Ahmadi secara bertahap. Uang tersebut diberikan kepada Irwandi agar mengarahkan Unit Layanan Pengadaan Pemerintah Provinsi Aceh supaya memberikan persetujuan terkait proyek pembangunan DOKA 2018 di Kabupaten Bener Meriah.
Irwandi juga diyakini menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 8,717 miliar. Selain itu, Irwandi bersama Izil Azhar (orang kepercayaan Irwandi) didakwa menerima hadiah berupa uang sebanyak Rp 32,454 miliar. Uang itu diterima Irwandi selama menjabat sebagai gubernur Aceh pada kurun waktu tahun 2007 hingga 2012.
Jaksa menilai, perbuatan Irwandi melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tak hanya itu, ia juga dinilai melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Atas tuntutan tersebut, Irwandi dan kuasa hukumnya akan mengajukan nota pembelaan atau pledoi. Hakim Saifudin menyetujuinya dan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pledoi akan digelar pada 1 April 2019.