JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan, mengusulkan perbaikan infrastruktur survei di laut untuk menemukan potensi minyak dan gas bumi. Infrastruktur yang dimaksud adalah kapal survei geomarin yang dioperasikan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Kementerian ESDM. Di Indonesia kini masih ada 74 cekungan hidrokarbon yang belum diteliti.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan pada Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, pihaknya mengusulkan pengadaan kapal survei baru, yaitu Geomarin V. Saat ini, kapal survei untuk meneliti potensi migas di dasar laut adalah kapal survei Geomarin III yang beroperasi sejak 2009. Kapal Geomarin V disebut-sebut berkemampuan lebih baik dari Geomarin III.
”Kapal generasi baru tersebut (Geomarin V) dapat dioperasikan di laut dangkal ataupun laut dalam untuk survei laut, survei infrastruktur minyak dan gas bumi, jalur kabel, jalur pipa bawah laut, survei potensi mineral kelautan, serta studi lingkungan lepas pantai,” kata Dadan saat dihubungi, Minggu (24/3/2019), di Jakarta.
Rancangan kapal Geomarin V berukuran panjang 40 meter dan lebar 10 meter, sedangkan Geomarin III berukuran panjang 61,7 meter dan lebar 12 meter. Anggaran pembuatan kapal Geomarin V diusulkan dalam dua tahun anggaran, yaitu 2020 dan 2021 dengan besaran masing-masing Rp 100 miliar dan Rp 50 miliar. Kapal Geomarin menggunakan sertifikasi dari Jepang.
”Apabila kapal Geomarin V bisa beroperasi mulai 2022, proyeksi bisnis dengan mitra strategis untuk survei dari 2022 sampai 2026 bisa mencapai sekitar Rp 180 miliar. Itu sudah bisa menutup ongkos investasi pembuatan kapal,” kata Dadan.
Jasa kapal Geomarin banyak dipakai oleh kontraktor kontrak kerja sama migas di Indonesia untuk kebutuhan survei potensi migas ataupun jasa lainnya, seperti studi kelayakan. Survei potensi migas di laut juga menjadi dasar bagi pemerintah untuk penyusunan wilayah kerja migas sebelum dilelang ke kontraktor.
Pada 2009, pemerintah meluncurkan data cekungan hidrokarbon yang berjumlah 128 buah di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 cekungan sudah memproduksi minyak dan gas bumi. Beberapa cekungan lainnya sedang diteliti lebih lanjut untuk mengetahui potensinya, sedangkan 74 cekungan lainnya sama sekali belum diteliti. Biaya menjadi kendala bagi pemerintah untuk menggiatkan survei potensi migas di laut lepas.
Sementara itu, menurut pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, PT Pertamina (Persero) harus didorong menemukan cadangan migas baru dalam skala besar. Tanpa penemuan baru, yang akan terjadi adalah penurunan produksi migas secara terus-menerus. Produksi migas yang dinikmati sekarang berasal dari lapangan raksasa berusia tua, seperti Blok Mahakam di Kalimantan Timur, Rokan di Riau, atau Tangguh di Papua Barat.
”Sumber daya migas Indonesia masih besar. Perlu fokus tinggi untuk mengubah sumber daya migas menjadi cadangan terbukti,” ucap Pri Agung.
Data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sepanjang 2018 terdapat 216 wilayah kerja migas di Indonesia. Jumlah itu terdiri dari 115 wilayah kerja di darat (on shore), 69 wilayah kerja di laut lepas (offshore), dan 32 wilayah kerja kombinasi. Dari jumlah itu semua, wilayah kerja eksplorasi sebanyak 91 buah.
Tahun lalu, produksi siap jual (lifting) minyak adalah 778.000 barel per hari, sedangkan lifting gas bumi sebanyak 1,139 juta barel setara minyak per hari. Target lifting minyak tahun ini adalah 775.000 barel per hari dan lifting gas bumi 1,250 juta barel setara minyak per hari.