50 Tahun Pernikahan, Sabam Sirait Luncurkan ”Berpolitik Bersama 7 Presiden”
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merayakan usia pernikahannya yang ke-50, politisi senior Sabam Sirait meluncurkan buku berjudul Berpolitik Bersama 7 Presiden, di Jakarta, Senin (25/3/2019). Buku ini menceritakan karier politik Sabam selama lebih dari 50 tahun yang melintasi masa kepemimpinan tujuh presiden.
Selain dihadiri keluarga Sabam, termasuk anak sulungnya, politisi PDI-P Maruarar Sirait, dan menantunya, Putra Nababan, acara ini juga dihadiri Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Ketua DPR Bambang Soesatyo, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, Kapolda Metro Jaya Gatot Eddy Pramono, dan beberapa pengacara sahabat Sabam, seperti Hotma Sitompul dan Juniver Girsang.
Dalam sambutannya, Sabam mengatakan tidak pernah menyangka bisa mencapai usia perkawinan ke-50 dengan istrinya, Sondang Boru Sidabutar. Ini karena kondisi kesehatannya yang terdampak oleh penyakit darah yang dideritanya sejak usianya masih muda.
”Saya tidak pernah berharap mendapatkan ucapan selamat lima puluh tahun berkeluarga seperti ini. Apalagi, cucu-cucu kami semuanya baik-baik kepada kami. Mungkin itu yang membuat saya bertambah umur,” kata Sabam.
Sabam menikah dengan Sondang Boru Sidabutar pada 23 Maret 1969. Pernikahan tersebut dianugerahi tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan. Selain itu, kini Sabam dan Sondang memiliki tujuh cucu.
Selain menjadi anggota DPR selama tujuh periode, salah satu deklarator Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ini juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di era Presiden Soeharto selama dua periode, pada 1983-1992. Sementara saat ini, Sabam mewakili Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sabam pun kembali maju sebagai caleg DPD DKI Jakarta pada Pemilu 2019.
Yasonna, yang merupakan yunior Sabam di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), mengungkapkan, Sabam adalah salah satu guru politiknya. Figur Sabam pula yang mendorong Yasonna untuk masuk ke dunia politik. Ini termasuk yang mendorong Yasonna agar maju pada Pemilu 2004 sebagai calon anggota DPR dari Sumatera Utara.
Selain itu, dia melihat Sabam adalah figur politisi yang memiliki prinsip kuat, patuh terhadap asa dan prinsip etika politik. ”Lentur, tetapi tidak kehilangan prinsip. Bagi saya, (Sabam) adalah politisi paten, top, sempurna. Beliau adalah panutan bagi adik-adiknya,” kata Yasonna.
Pandangan senada disampaikan oleh Bamsoet, panggilan akrab Bambang Soesatyo. Meski berbeda partai politik, Bamsoet mengagumi keteguhan prinsip berpolitik Sabam. Untuk itu, Sabam menjadi figur yang dapat diteladani oleh politisi muda saat ini.
”Sekarang ini banyak politisi pragmatis, musim-musiman. Dulu memaki-maki seseorang, tidak lama langsung memuji. Mudah-mudahan ini dapat memberikan inspirasi dan mengembalikan para politisi muda ke jalan yang benar,” kata Bamsoet.
Isi buku
Buku Berpolitik Bersama 7 Presiden karya Sabam ini menceritakan keterlibatan dan sikap politik Sabam pada setiap periode kepresidenan dari mulai presiden pertama Soekarno hingga presiden ke-7 Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo, dalam kata sambutan pada buku tersebut, menyampaikan kekagumannya terhadap prinsip berpolitik Sabam. Menurut Jokowi, Sabam melihat kekuasaan sebagai turunan dari nilai keadilan dan kebenaran.
”Karena itu, menurut pandangan saya, Pak Sabam bukan hanya sekadar politisi, tetapi juga seorang negarawan sejati,” kata Jokowi.
Buku setebal 254 halaman ini menyisipkan pula anekdot-anekdot sejarah yang mungkin tidak tercatat dalam buku sejarah. Salah satu kutipan dalam buku itu menceritakan saat Sabam, sebagai unsur pimpinan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), memberikan pidato di depan Presiden Soekarno.
”Suatu kaIi, mewakili pimpinan Parkindo, saya berpidato di depan Presiden Soekarno, dan puluhan ribu massa di Stadion Gelora Bung Karno. Ketika giliran Bung Karno sendiri tampil di atas mimbar, ia sempat memuji pidato beberapa orang sebelumnya, termasuk saya. ’Mana tadi anak muda yang namanya Bambang Sirait. Pidatonya lumayan bagus,’ kata Bung Karno. Waduh, Bung Karno salah menyebut nama saya menjadi ’Bambang’ Sirait. Tapi, tak apalah, yang penting Bung Karno sudah memuji pidato saya.”