Perjuangan Menangkap Si Api Biru
Sebagai pewarta foto harian Kompas, hal yang paling menyenangkan adalah saat karya terbit di koran dan mendapat tanggapan atau komentar positif. Namun, sebenarnya tidak jarang di balik foto-foto tersebut tersimpan cerita ”menyiksa” yang tidak banyak diketahui pembaca.
”Wah keren”, ”Wah bagus sekali”, ”Ciamik”, ”Proficiat….”. Begitulah komentar yang muncul di media sosial saat sebuah karya foto diapresiasi pembaca. Membaca itu, rasa-rasanya tidak ingin hari cepat berlalu.
Namun, sekali lagi. Untuk mendapatkan foto-foto bagus tersebut menuntut perjuangan yang sering kali tidak mudah. Bagi saya sendiri, hal paling menyiksa adalah ketika harus meliput ke daerah pegunungan. Ini karena perjalanan menuntut kesiapan fisik untuk mendaki gunung menuju tempat liputan.
Salah satunya ketika harus meliput ke Gunung Ijen. Berbeda dari Gunung Bromo atau Gunung Merapi yang terlihat utuh badannya dari banyak tempat. Gunung Ijen dengan api birunya hanya bisa disaksikan dengan mendakinya, lantas menuruni kawahnya yang membutuhkan cucuran keringat dan usaha keras.
Setidaknya tiga kali saya berkunjung ke Gunung Ijen. Pertama, pada Desember 2011. Saat itu saya ditugaskan untuk meliput kondisi Gunung Ijen yang menunjukkan peningkatan aktivitas kegunungapian.
Untuk mendapatkan foto-foto bagus tersebut menuntut perjuangan yang sering kali tidak mudah.
Jujur saja, saya tidak membayangkan medan yang akan saya hadapi. Oleh karena jika kita melihat brosur-brosur pariwisata tentang Ijen, yang tampak hanyalah foto petambang belerang serta pemandangan api biru yang legendaris. Tidak ada keterangan bahwa untuk mendapatkan pemandangan itu harus melewati jalan menanjak.
Untuk menuju ke sana, terlebih dulu saya harus ke Pos Pantau Gunung Ijen yang lokasinya sangat jauh dari Ijen. Di sana saya bertemu dengan Kepala Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Ijen Bambang Heri Purwanto. Saya beruntung karena keesokan harinya Pak Heri berencana naik untuk mengambil sampel air dari kawah Ijen sehingga saya beroleh teman perjalanan.
”Besok kamu saya bonceng motor saja,” ujar Pak Heri memberi arahan. ”Baik Pak. Terima kasih,” jawab saya.
Hilang sudah kekhawatiran saya akan terlalu lelah di jalan. Pagi harinya, kami bertemu di Pal Tuding yang merupakan pintu gerbang menuju kawah Ijen. Saya menumpang mobil 4 x 4 sewaan. Pak Heri datang dengan motor dinasnya, Honda Win. ”Ayo langsung berangkat,” ajak Pak Heri.
Saya langsung membonceng Pak Heri. Saat itu masih pukul 09.00. Awalnya perjalanan baik-baik saja. Namun, beberapa menit kemudian, suara motor menjadi lebih keras, tetapi jalannya melambat, lalu berhenti sama sekali. Perasaan saya langsung tidak enak. ”Wah jangan-jangan keberatan, nih,” pikir saya.
Benar saja. Tidak berapa lama kemudian, Pak Heri meminta saya turun lantas melanjutkan perjalanan, meninggalkan saya yang kebingungan.
Jalanan memang terjal saat itu. Diperparah dengan gerimis yang mulai turun membasahi rute yang kami lewati. Dari ujung tanjakan terdengar Pak Heri berteriak, ”Mas, ikuti jalan ini saja. Saya tunggu di Pal Bunder.”
Pak Heri kembali melanjutkan perjalanan hingga suara motornya perlahan menghilang. Saya mulai melangkah dengan napas tersengal yang seakan segera menghilang dari dalam tubuh.
Saya berusaha untuk tidak melihat ke depan demi mengusir perasaan negatif bakal mendapat tanjakan ”maut”. Beberapa kali saya terduduk dan menyeka keringat di tengah tanjakan yang tak kunjung reda. Beberapa kali saya harus merayapi tanjakan dengan kemiringan hampir 45 derajat.
Pandangan saya mengabur. Entah karena memang sudah kepayahan atau terhalang kabut tebal yang turun. Akhirnya kekhawatiran saya terjadi. Saya kepayahan menaklukkan tanjakan. Namun, saya berprinsip, apa yang sudah dimulai harus diselesaikan. Setidaknya, sampai Pal Bunder seperti yang sudah disepakati.
Namun, akhirnya saya menyerah. Saya terduduk dan menggigil kedinginan. Jarang olahraga dan kondisi badan yang masuk kategori hampir obesitas sepertinya menjadi penyebab. Kabut yang turun menyembunyikan jalan setapak yang harus saya susuri menuju tempat pertemuan dengan Pak Heri.
”Pak, tinggal saja, saya sudah tidak kuat,” teriak saya.
Berharap teriakan saya akan didengar agar beliau dapat segera menunaikan tugas tanpa terbebani oleh saya. Tiba-tiba saya mendengar suara orang tertawa. Saat kabut perlahan menyingkir, saya melihat Pak Heri sudah berdiri bersama beberapa petambang belerang.
”Ayo Mas, sedikit lagi,” teriak mereka.
Saya pun berjalan kembali. Sebenarnya lebih tepat disebut merangkak. Sampai akhirnya saya mampu mencapai bangku kayu sederhana dan mendudukinya dengan nyaman. ”Alhamdulillah,” seru saya.
”Sudah sana minum teh hangat dulu dan makan pisang,” saran Pak Heri.
”Sudah siap?” tanyanya kemudian.
Ingin rasanya saya menjawab, jalannya besok pagi saja. Namun, kemudian teringat tugas Pak Heri. Dengan wajah masih pucat saya jawab, ”Siap Pak. Masih berapa jauh lagi?"
”Enggak jauh, kok, kita akan lewat jalur peneliti,” jawab Pak Heri.
Dengan didampingi seorang petambang, akhirnya perjalanan dilanjutkan kembali. Pak Heri kemudian bercerita bahwa di jalur yang saat itu kami lalui pernah terjadi wisatawan asing terjatuh dan meninggal.
Saya menelan ludah mendengarnya. Dengan langkah perlahan, saya melewati tebing-tebing yang berbatasan dengan jurang yang dalam. Beberapa kali saya juga harus meniti jembatan kayu yang seadanya.
”Kamu tunggu sini saja, ya. Biar saya yang mendekat mengambil sampel air. Jaga-jaga kalau ada gas beracun,” pesan Pak Heri.
Pak Heri kemudian bercerita bahwa di jalur yang saat itu kami lalui pernah terjadi wisatawan asing terjatuh dan meninggal.
Terlihat jelas dari arah kawah air yang berwarna kecoklatan. Tidak lama setelah terlihat mengambil air, Pak Heri berlari ke arah saya. ”Ayo Mas, balik. Punya air tidak, Mas?”
”Buat apa, Pak?”
”Kayaknya wajah saya kena gas beracun.”
Pak Heri terlihat panik. Saya keluarkan botol air mineral dan mengguyurkannya di wajah Pak Heri. Saat berlari kembali ke Pal Bunder, saya teringat belum memotret kegiatan yang dilakukan Pak Heri. Ia sempat berhenti dan menunjuk ke arah kawah dan itu satu-satunya adegan yang bisa saya foto pada hari itu.
Di Pal Bunder, Pak Heri dengan telepon genggamnya menghubungi rekan kantornya. Berdasarkan pengamatan yang baru ia lakukan di kawah, ia merekomendasikan status Gunung Ijen naik dari Waspada (level II) menjadi Siaga (level III).
Pengalaman kedua terjadi pada Juli 2013 saat saya ditugaskan memotret api biru. Ditemani seorang teman, saya naik mobil dari Surabaya. Saat itu pengalaman pertama masih membekas dalam. ”Apakah saya mampu?” menjadi pertanyaan yang terus terngiang di kepala.
Namun, tugas tetap tugas. Seberapa pun beratnya tetap harus dijalani sampai batas maksimal. Kali ini saya merasa sudah membekali diri dengan peralatan yang memadai. Oleh karena ingin mengejar api biru, kami sudah tiba di Pal Tuding pukul 20.00. Namun, gerbang masuk baru dibuka pukul 02.00 sehingga kami memutuskan untuk menunggu di dalam mobil.
Cobaan dimulai ketika saya melepas jaket dan keluar dari mobil untuk mencari makanan. Udara dingin yang menyergap membuat tubuh menggigil. Saya mengurungkan niat membeli makanan, lalu kembali ke mobil. Namun, setibanya di mobil, kepala menjadi pusing.
Pukul 02.00 akhirnya tiba. Dengan kepala pusing, saya memulai perjalanan menuju kawah. Siksaan medan terjal kembali terjadi dan kali ini ditambah pusing. Setiap beberapa langkah, saya berhenti. Begitu terus berulang-ulang.
Sambil tersengal-sengal, saya tersadar lupa membawa senter. Awalnya teman menemani dengan senternya. Namun karena saya kepayahan, saya mendorong agar ia berjalan lebih dulu.
Akhirnya, sepanjang jalan saya hanya mengandalkan lampu sorot milik orang lain. Dengan susah payah akhirnya saya tiba juga di Pal Bunder.
Setelah istirahat sebentar, saya melanjutkan perjalanan menuju kawah melewati rute wisatawan. Terjadi antrean turun ke kawah. Saat akan turun ke kawah itulah, kaki kanan saya terkilir. Khawatir patah, saya bersandar ke tebing. Sakit luar biasa, tetapi masih bisa digunakan untuk berjalan.
”Are you, okay?” tanya seorang wisatawan asing.
”I am okay, Sir,” jawab saya sambil meringis menahan sakit.
Perlahan dan terseok-seok akhirnya saya tiba di dasar kawah yang penuh dengan sorot lampu senter. Namun, rupanya sebagian besar wisatawan pemilik lampu senter itu tidak berdiam lama di kawah. Selain penampakan api biru yang sedikit, tidak adanya angin membuat asap belerang berkumpul di dasar kawah sehingga mengganggu pernapasan dan terasa perih di mata.
Seperti dikomando, wisatawan-wisatawan tersebut kemudian naik kembali ke atas karena ingin melihat matahari terbit. Dasar kawah yang sebelumnya terang perlahan meredup, lalu gelap sama sekali. Saya kehilangan tapak untuk berpijak. Gelap total. Padahal, saya belum sampai ke titik yang saya tuju.
Khawatir akan terjatuh karena medan yang tidak rata, akhirnya saya putuskan berdiam dan duduk sambil menunggu bantuan atau hingga hari menjadi terang. Tidak beberapa lama, saya melihat pendar kecil cahaya menyeruak dari balik kabut asap belerang.
”Halo siapa, ya, itu?" saya berusaha memanggil.
”Siapa, ya, itu?” tanyanya balik.
Rupanya tempat saya duduk merupakan tempat yang akan dilintasi oleh si pemilik cahaya. Setelah menemukan saya dengan sorot senternya, orang itu mendekat.
”Lho, kenapa Mas?” tanya Bapak tersebut yang ternyata seorang petambang belerang.
Saya jelaskan maksud saya datang ke Ijen untuk mendapatkan api biru serta melihat aktivitas petambang. Mungkin karena merasa iba, si Bapak mau menemani dan menjadi penunjuk arah.
Saya pun mengikuti di belakang. ”Wah, api birunya sedikit, Mas” kata si Bapak.
Oleh karena tidak membawa tripod, pemotretan api biru menjadi sulit, apalagi dengan waktu yang beranjak terang. Akhirnya saya hanya bisa memotret aktivitas petambangan belerang. Sementara teman perjalanan saya sudah lebih dulu berada di tempat yang ditunjukkan si petambang.
Saya kemudian harus berlarian menghindari asap. Saat asap pergi, beberapa petambang langsung membongkar belerang. Namun, tidak jarang saat belerang belum sepenuhnya terbongkar, asap kembali datang yang membuat kami terbatuk-batuk dan merasa mata perih.
Foto petambang belerang yang saya abadikan saat itu kemudian muncul di koran. Pengalaman ini menyisakan kaki kanan yang bengkak dan serangan batuk selama hampir sebulan.
Meskipun tetap mampu membawa pulang karya foto, kedua pengalaman tersebut memberi pelajaran berharga. Untuk mendapatkan foto yang baik diperlukan bekal alat pendukung serta pemahaman medan yang memadai.
Kesempatan ketiga datang pada Agustus 2016. Saya bisa mendapatkan pemandangan kawah Ijen yang saya inginkan. Foto ini kelak juga digunakan sebagai materi terbitan kalender perusahaan.
Dua pengalaman terdahulu membuat saya membekali diri dengan head lamp, jaket yang memadai, serta tripod. Beruntung, pengelola kawasan kawah Ijen membuka gerbang masuk lebih awal, yaitu pukul 01.00. Pengunjung yang fisiknya kurang kuat, seperti saya, bisa tiba tepat waktu di kawah dan melihat api biru lebih lama tanpa harus terburu-buru ”dikejar” matahari terbit.
Dua kali pengalaman yang ”kurang menyenangkan” ini akhirnya menjadi pedoman saya dalam menghadapi medan liputan apa pun, khususnya yang berhubungan dengan gunung.
Prinsip saya, tidak ada gunung yang terlalu tinggi untuk didaki. Apa pun gunungnya, persiapan, baik fisik maupun peralatan serta pemahaman medan, harus diupayakan agar target yang kita inginkan tercapai dengan maksimal.