JAMBI, KOMPAS — Kayu-kayu curian dari kawasan hutan produksi dan hutan konservasi di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan leluasa melintasi titik-titik pengawasan. Aparat terkait diharapkan lebih maksimal mengawasi dan tegas menindak kayu-kayu liar tersebut.
Dari kawasan hutan produksi dan lindung gambut, hasil curian kayu diketahui kerap menumpuk di tepi-tepi jalan yang merupakan perbatasan dua provinsi. Titik tumpukan kayu hanya berjarak sekitar 10 kilometer dari kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lalan Mangsang Mendis di Kabupaten Musi Banyuasin. Untuk menuju industri pengolahan kayu, hasil kayu curian melintasi kantor KPH.
Menurut Rinto, warga sekitar, pengemudi truk-truk itu berhenti untuk menyetorkan sejumlah uang kepada oknum petugas setempat. ”Setorannya rata-rata Rp 100.000 per truk,” katanya.
Pengemudi truk kayu juga akan berhenti pada titik-titik simpul pengawasan lainnya sewaktu mengarah menuju Jambi dan Sumsel. Kayu yang menuju Jambi melintasi markas Kepolisian Sektor dan Komando Rayon Militer di Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi.
Salah satu pemain kayu setempat, Andri, menyebut pungutan liar di jalur distribusi kayu ilegal bukanlah hal tabu. ”Semua pemain kayu pasti dikenai pungutan liar dari oknum petugas,” katanya.
Hal ini masih terjadi di sejumlah kawasan di Musi Banyuasin, terutama di kawasan Lubuk Bintialo, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. ”Biasanya, kami memberikan uang Rp 50.000-Rp 100.000 per truk yang melintas,” katanya.
Hal inilah yang membuat kayu akan lebih mahal saat tiba di Palembang. Untuk kayu jenis campuran, dirinya membeli Rp 800.000 per meter kubik. Dalam perjalanan menuju Palembang, ia harus membayarkan pungutan liar pada enam pos mulai dari Musi Banyuasin hingga Palembang. Akibat beban tersebut, ia pun menjual kayunya dengan harga Rp 2.200.000 per meter kubik.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Akhmad Bestari mengatakan, aparat di lokasi semestinya memperketat pengawasan di jalur itu. Pihaknya melihat ada dua indikasi penyebab kayu-kayu curian dapat leluasa melintasi jalur tersebut.
Pertama, petugas lapangan mengalami tekanan kuat karena pembalak cenderung anarkistis. Kedua, oknum petugas di lapangan mengambil keuntungan dari praktik distribusi kayu curian tersebut.
”Kami sudah pernah menyurati Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan agar bersama-sama menggelar operasi gabungan. Tapi, sampai sekarang tidak pernah terlaksana,” katanya.
Sebagaimana diketahui, distribusi kayu curian dari hutan negara di batas Jambi dan Sumsel kembali marak. Diperkirakan 300 meter kubik keluar setiap hari dari dua akses tersebut. Kayu-kayunya memasok kebutuhan industri pengolahan dan penampungan hasil kayu olahan di Jambi, Palembang, Lampung, hingga Banten.
Kami sudah pernah menyurati Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan agar bersama-sama menggelar operasi gabungan. Tapi, sampai sekarang tidak pernah terlaksana.
Di tempat terpisah, Kepala KPH Lalan Mendis, Salim Jundan, menyangkal masih adanya pendistribusian kayu ilegal ke wilayahnya. Menurut dia, semua jalur itu sudah ditutup sejak 2013, persisnya setelah petugas KPH dan TNI/Polri menutup jalur penyaluran kayu ilegal melalui sungai. Selanjutnya pada 2017, dilakukan operasi gabungan menutup usaha-usaha olahan kayu yang banyak beroperasi di sana.
Penutupan ini untuk mencegah masuknya kayu yang biasanya dikirim melalui Jambi. ”Memang sebelumnya masih ada praktik tersebut. Biasanya kayu dialirkan melalui sungai karena memang hanya satu-satunya jalur pengiriman. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi,” jelasnya.
Selain itu, ujar Salim, saat ini, sebagian besar kawasan KPH Lalan Mendis seluas 320.000 hektar sudah dikelola oleh perusahaan. Ada enam perusahaan yang memegang izin pengelolaan di kawasan ini. ”Jadi, penyelundupan sudah kecil kemungkinan terjadi,” ucap Salim.
Salim mengakui, kalau harus mengawasi seluruh kawasan, hal itu sangat sulit dilakukan. ”Saat ini, personel pengamanan hanya 11 orang, sulit untuk mengamankan area seluas itu sendiri. Belum lagi peralatan dan dana operasional yang terbatas,” ungkapnya.
Selain itu, Salim juga menyangkal keras adanya pungutan liar yang terjadi di wilayahnya karena memang tidak ada lagi kayu yang melewati wilayahnya sekarang ini.
Saat ini, personel pengamanan hanya 11 orang, sulit untuk mengamankan area seluas itu sendiri. Belum lagi peralatan dan dana operasional yang terbatas.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Zulkarnain Adinegara menegaskan tidak akan main-main terhadap kasus penebangan liar di Sumsel, apalagi jika ada oknum aparat kepolisian yang terlibat tentu akan ditindak tegas.
Eksodus warga
Bestari juga melihat masifnya eksodus warga dari luar daerah ke lokasi pembalakan liar. Sejumlah cukong didapati bekerja sama dengan perantara untuk mendatangkan para pekerja masuk ke dalam hutan.
”Mereka didatangkan dari luar daerah dan dibayar untuk membalak dalam hutan,” katanya.
Terkait indikasi pembalakan liar dalam areal kerjanya, Dishut Jambi telah menyurati para pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) untuk bertanggung jawab menjaga wilayah kerjanya dari aktivitas liar.
Dishut menyurati pula pengelola kawasan restorasi ekosistem Hutan Harapan untuk menanggulangi maraknya pembalakan dan perambahan dalam wilayahnya.
Sejak 10 tahun terakhir, pembalakan dan perambahan liar masif dalam kawasan restorasi ekosistem itu. Setelah lokasi hutan habis dibalak, lahan turut dirambah. Tim investigasi bahkan mendapati sejumlah kontrak tertulis antara oknum kepala desa di wilayah Sako Suban dan perantara untuk mendatangkan massa membalak dan merambah dalam hutan.