Ubah Pola Pikir Untuk Sambut Era Baru
Dunia usaha terus mengalami perubahan dalam beberapa tahun belakangan ini. Inovasi serta perubahan pola konsumsi secara disruptif, khususnya akibat perkembangan teknologi digital, menggerus hampir seluruh lini bisnis yang ada.
Pada kenyataannya, era disrupsi dapat mendatangkan dampak positif dan negatif bagi dunia usaha. Manfaat bakal dituai apabila mau mengikuti perkembangan zaman. Namun bagi perusahaan yang abai, gulung tikar bukan hal yang mustahil terjadi.
Berdasarkan kajian yang dibuat Harvard Business Review, tiga sektor yang paling berpotensi gulung tikar akibat disrupsi adalah media massa, telekomunikasi, dan industri jasa keuangan. Kunci utama yang harus dilakukan perusahaan agar tidak tergerus oleh cepatnya perkembangan zaman adalah menumbuhkan mekanisme disrupsi mandiri (self disruption).
Dalam acara bertajuk Cafe CEO dengan tema “Benarkah Disrupsi Mematikan Bisnis” yang berlangsung di D’Consulat Lounge, Jakarta, Jumat (22/3/2019), para pebisnis ulung mengemukakan pentingnya korporasi membangun mekanisme self disruption.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi “Boy” Thohir, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Syariah Hadi Santoso, dan Direktur Keuangan PT Bank Negara Indonesia Syariah Wahyu Afianto, didapuk sebagai pembicara di acara tersebut.
Rosan pun meyakinkan kepada seluruh peserta yang saat itu hadir bahwa tidak ada cara lain bagi perusahaan untuk memperpanjang usia bisnis selain mengubah cara kerja secara revolusioner. “Agar bisa tetap bertahan, korporasi harus siap untuk ikut melakukan perubahan sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman,” ujarnya.
Tantangan pengusaha pada era disrupsi adalah kemajuan teknologi yang cepat dan inovasi yang kerap tak terpikirkan sebelumnya. Rosan mencontohkan di sektor jasa keuangan, industri perbankan sudah mulai mengurangi jumlah teller sejak mesin anjungan tunai mandiri (ATM) menjamur. Ditambah lagi saat ini transaksi perbankan dapat dilakukan berbasis dalam jaringan.
Hasil penelitian McKinsey Global Institute pada 2017 menunjukkan sekitar 30 persen tugas dari dua pertiga jenis pekerjaan akan dapat digantikan oleh teknologi seperti robot atau kecerdasan buatan.
McKinsey memprediksi otomatisasi tersebut akan mengakibatkan hilangnya 3-14 persen profesi pada 2030. Artinya, sekitar 75 pekerja hingga 375 juta pekerja di dunia harus berganti mata pencaharian. Di Indonesia sendiri, Rosan memperkirakan 60 juta bidang pekerjaan akan menghilang.
Walaupun akan ada banyak sektor lapangan pekerjaan yang hilang, kemajuan teknologi era disrupsi akan menciptakan lapangan pekerjaan baru pada sektor-sektor yang sedang berkembang. “Untuk menyambut perkembangan tersebut, pengusaha perlu menyiapkan sumber daya manusia dan perusahaan,” tegas Rosan.
Direktur Utama BRI Syariah Hadi Santoso menuturkan, dunia usaha di sektor jasa keuangan sedang dipaksa berubah mengikuti tuntutan dan perubahan pola prilaku nasabah. Tuntutan dan tantangan yang muncul akibat disrupsi terkadang mengejutkan, salah satunya adalah sektor peer-to-peer lending berbasis daring.
“Kejutan-kejutan seperti ini harus kita rangkul untuk memperluas manfaat bisnis. Agar kedepannya sektor keuangan sama-sama berkembang, bukannya saling mematikan,” ujarnya.
Hal serupa turut diungkapkan Direktur Keuangan BNI Syariah Wahyu Afianto. Selain peer-to-peer lending, sektor jasa keuangan juga mengalami disrupsi pada lini bisnis sistem pembayaran dan layanan urun dana (crowd funding). Dalam melakukan self disruption, sektor jasa keuangan perlu meningkatkan kapasitas pengelolaan data.
Memahami disrupsi
Untuk disadari, disrupsi tidak hanya melanda industri keuangan, telekomunikasi, ritel, transportasi, logistik, dan media massa. Sektor bisnis yang dianggap minim risiko dari gejolak prilaku konsumsi seperti pertambangan juga wajib melakukan self disruption.
Presiden Direktur Adaro Energy, Garibaldi “Boy” Thohir, mengatakan, banyak pihak menilai bisnis pertambangan batu bara merupakan lini bisnis yang terbebas dari efek disrupsi karena karakteristik bisnis yang fokus pada penambangan dan penjualan.
“Padahal, kalau dalam berbisnis Adaro tidak melakukan perubahan pola pikir yang mendasar, maka bisnis penambangan Adaro juga tidak akan bertahan lama,” ujarnya.
Salah satu langkah yang ia lakukan adalah dengan mengembangkan pilar bisnis lain di luar penambangan, dimulai dengan bisnis logistik yang terintegrasi dengan transportasi, serta bisnis suplai energi listrik pada periode 2005 hingga 2007.
Setelah itu, Adaro Energy juga merambah lini bisnis pengairan. Di masa depan, Adaro berencana untuk mulai masuk ke lini bisnis pariwisata dengan membuat cetak biru dari The Mines Resort City, sebuah konsep tempat wisata integrasi yang dibangun di lahan bekas tambang.
“Kalau kami tetap melakukan bisnis seperti biasa saja, terpaan krisis pada 2008 kemudian dilanjut pada 2013, mungkin akan membuat Adaro gulung tikar,” ujarnya.
Seluruh pembicara pun menyepakati bahwa segala upaya dalam melakukan self disruption baru akan berhasil apabila jajaran eksekutif dalam perusahaan mampu memahami secara utuh makna dari disrupsi. Tidak lupa juga, seluruh komponen dalam perusahaan harus bersamamembongkar pola pikir dan keluar dari zona nyaman.