Reky Martha Groendal Menyisihkan Uang Saku untuk Anak Jalanan
Meski hidup berpindah-pindah di beberapa negara, Reky Martha Groendal (34) tidak melupakan Tanah Air. Ia tetap mencurahkan hati dan pikirannya pada anak-anak dari keluarga tidak mampu di Indonesia agar tetap bersekolah. Reky bersama sejumlah pelajar Indonesia yang berkuliah di Jepang tahun 2006 memulai gerakan kecil: menyisihkan uang saku!
Mereka ingin membantu anak-anak jalanan di Indonesia agar tetap bersekolah lewat lembaga nonprofit Hoshizora Foundation. Sejak menjadi salah satu co-founder Komunitas Hoshizora pada 2006, lalu diubah menjadi Hoshizora Foundation tahun 2012, Reky tetap menunjukkan komitmen untuk memenuhi langit Indonesia dengan anak-anak yang berani menggantungkan cita-cita setinggi bintang. Nama Hoshizora berasal dari bahasa Jepang yang berarti ’langit penuh bintang’.
Meskipun dalam kurun waktu itu Reky kuliah dan kerja di Jepang, lalu melanjutkan pendidikan master dengan beasiswa di Kanada, hingga bekerja di Amerika Serikat, dia selalu memastikan Hoshizora mendapat donatur dari para kakak bintang yang ada di luar negeri. Reky yang memiliki residen permanen di Amerika Serikat ini tak lelah mempresentasikan kiprah Hoshizora Foundation di luar negeri.
”Saya bersama co-founder Hoshizora tetap memastikan anak-anak tidak mampu yang kami dukung terus bersekolah. Ketika saya di Jepang, Kanada, atau di Amerika Serikat, saya terus memperkenalkan Hoshizora dan mencari kakak bintang dari diaspora Indonesia,” kata Reky yang dijumpai pada acara pertemuan Kakak Bintang di Jakarta, Februari 2019.
Tahun 2016-2018, Reky memutuskan sabatikal selama tiga tahun untuk fokus membantu Hoshizora Foundation.
”Saya berhenti kerja di Amerika supaya seratus persen bisa fokus di Hoshizora, artinya balik ke Indonesia,” cerita Reky yang kuliah ke Jepang dari beasiswa.
Ketika kembali ke Indonesia, Reky mengemban tugas sebagai Presiden Hoshizora Foundation. Dia tinggal di Yogyakarta, daerah asal orangtuanya.
Pendiri lain, meskipun ada yang berkuliah atau bekerja di luar negeri, tetap setia membantu. Reky menyebut sejumlah nama, seperti Wenda Gumulya yang sekarang di Australia, Megarini Puspasari, Ahmad Bukhori (Inggris), serta William Widjadja, Andang Kirana, dan Ferry Irawan, masih erat berjuang membangun Hoshizora Foundation.
”Saya suka di Hoshizora karena ada kebahagiaan pribadi. Jadi merasa bersyukur hidup hari ini kerasa banget. Anugerah dan kebahagiaan bisa merasakan ini,” tutur Reky.
Dia bersyukur, pada usia muda sudah tahu yang membuat dirinya bangun setiap pagi dan bersemangat. Meskipun dia membangun karier dalam pengembangan masyarakat secara internasional, Reky tetap menaruh Hoshizora di hatinya.
Terus tumbuh
Menurut Reky, Hoshizora awalnya menjangkau 14 anak jalanan di Yogyakarta, kini menjadi lebih dari 2.500 anak di banyak daerah di Indonesia. Bahkan, lembaga itu sudah punya program bersama korporasi untuk mendukung adik bintang berkuliah.
“Visi kami bukan sekadar mengejar angka banyaknya anak yang kami dukung. Kami tetap harus bisa melihat adik-adik bintang tumbuh berkembang, perubahan adiknya, bahkan ada yang sampai mau bekerja di Hoshizora. Mereka yang mendapat bantuan, tumbuh menjadi anak-anak yang mau memberi kembali atau giving back pada komunitasnya,” kata Reky.
Selama mengembangkan lembaga, banyak pengalaman yang menyentuh hati Reky. Dia menceritakan ada adik bintang SMA yang dulu jalan kaki, lalu dapat beasiswa sehingga bisa beli sepeda. Tak hanya itu, adik bintang itu belajar komputer untuk bisa bekerja di Hoshizora. Ada juga adik bintang yang melanjutkan kuliah ke luar negeri.
“Kami mengenal semua adik bintang. Itu membuat saya berpikir, betapa bahagianya kami ternyata begitu dalam mengikuti kehidupan adik-adik ini. Enggak sekadar memastikan mereka lulus SD, SMP, SMA, tapi saat ada musibah dan keberhasilan di keluarga, kami jadi sampai tahu hal yang personal pada tiap adik bintang,” kata Reky.
Hoshizora dimulai dari langkah kecil, gabungan sejumlah individu. Awalnya dipicu peristiwa saling mengetahui sejumlah mahasiswa Indonesia di Jepang, seperti Reky, Megarini, dan Wenda suka mengirim uang ke Indonesia untuk membantu para tetangga. Akhirnya, muncul gagasan untuk mengirim uang secara bersama-sama untuk anak-anak di rumah singgah di Yogyakarta. Ketika itu, fenomena anak jalanan termasuk tinggi di Yogyakarta sehingga menarik perhatian mereka.
Kami mengenal semua adik bintang. Itu membuat saya berpikir, betapa bahagianya kami ternyata begitu dalam mengikuti kehidupan adik-adik ini. Enggak sekadar memastikan mereka lulus SD, SMP, SMA, tapi saat ada musibah dan keberhasilan di keluarga.
“Sebenarnya, di Jepang saya dan teman-teman juga susah karena bukan dari keluarga kaya. Saya ke Jepang kuliah S1 dengan beasiswa. Ya, harus kerja paruh waktu cuci piring di hotel pukul 04.00, dan pukul 08.00 kuliah. Lalu pukul 18.00 kerja di toko bunga dan pukul 00.00 baru pulang sambil mengerjakan tugas kuliah," kata Reky.
Di antara semua kesibukannya, Reky masih bisa mengirim uang ke keluarga. "Mama saya selalu bilang tetangga yang ini enggak punya seragam atau tidak bisa sekolah, jadi uang saya untuk bantu para tetangga,” kata Reky.
Dia pun bertekad bisa membantu anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Dia yakin, pendidikan jadi salah satu kunci untuk mengubah masa depan anak-anak Indonesia.
Semangat gotong-royong dari pelajar Indonesia di Jepang kala itu benar-benar diwujudkan. Reky yang juga belajar soal pengembangan masyarakat, membuat cetak biru dari Hoshizora. Konsepnya, mengajak pelajar di Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) di Jepang untuk puasa makan siang sekali sebulan.
Artinya, uang satu kali makan siang sekitar 1.000 yen atau setara Rp 100.000 ketika itu bisa menyelamatkan satu anak tidak mampu untuk tetap bersekolah.
Reky pun bersemangat untuk mengumpulkan uang dari kakak bintang di APU.
“Kerjaan saya tuh ngetokin kamar asrama para kakak untuk mengingatkan, lalu didata, dan dikirim untuk adik di Indonesia,” kenang Reky.
Ketika Reky lulus S1 dan kerja di kota lain di Jepang, dia tetap setia di akhir pekan ke kampus untuk mengumpulkan uang. Demikian pula ketika di Kanada, dia juga melebarkan sayap menjangkau mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat.
Namun, dengan memberikan uang saja tidak menyelesaikan masalah. Di tahun pertama Hoshizora berkiprah, ketika para pendiri pulang ke Indonesia, menemukan masalah bahwa anak-anak yang didukung seharusnya tidak masalah untuk kembali bersekolah. Namun, nyatanya ada yang dinikahkan, bekerja di daerah lain, atau alasan lainnya.
“Terpikir, perlunya ada engangement atau keterhubungan secara personal. Akhirnya, saya todongin agar kakak bintang di Jepang bisa menulis surat. Sederhana saja, yang penting menunjukkan perhatian dan dukungan secara personal dari kakak bintang,” kata Reky.
Adanya hunbungan personal dari kakak bintang dengan adik bintang ternyata berdampak. Cara ini menjadi salah satu keunikan Hoshizora Foundation. Donasi diberikan untuk satu siswa SD Rp 100.000/bulan, SMP Rp 150.000/bulan, dan SMA/SMK Rp 200.000 per bulan. Namun, kakak bintang diminta untuk bisa ikut memantau perkembangan adik bintang dan menjalin hubungan secara pribadi, terutama untuk menyemangati mereka agar tetap optimis meraih cita-cita.
Ketika giliran Reky menjadi Presiden Hoshizora, dia berupaya untuk melanjutkan upaya agar yayasan ini berkelanjutan. Reky pun membuka jalan untuk mendorong kerja sama dengan korporasi. Dia berhasil menambah program dukungan korporasi untuk mendukung adik bintang kuliah lebih dari 170 orang, yang dibiayai dari awal sampai selesai kuliah, dan terus dibimbing.
Menjangkau anak-anak di daerah pedalaman, Hoshizora dibantu oleh para guru honorer yang secara sukarela menjangkau dan memantau anak-anak tetap sekolah. Reky berharap mulai tahun ini para guru honorer sebagai koordinator wilayah bisa mendapatkan honor dari Hoshizora.
Reky Martha Groendal
Lahir : Bandar Lampung, 26 Februari 1985
Orang tua : Sutirto dan Yusnimar
Pendidikan:
1. Bachelor of Social Science in Asia Pasific Studies di Ritsumeikan Asia Pasific University di Jepang (2007)
2. Master of Arts in Education Psychology di University of British Columbia, Kanada (2012)
Penghargaan yang diraih bersama Hoshizora Foundation
1. Pemenang Kick Andy Heroes 2018
2. Mark Plus Under 40
3. Nominasi sebagai Women of Future Award Southeast Asia kategori Social Entrepreneur (Maret, 2019)