JAKARTA, KOMPAS — Meski disebut sebagai sumber kehidupan, keberadaan air yang tidak terkelola dengan baik dapat menjadi pemicu bencana hidrometeorologi di berbagai daerah di Indonesia. Perbaikan hutan, perbaikan tata ruang, serta kolaborasi berbagai pihak untuk mengonservasi air menjadi pekerjaan rumah untuk mengurangi risiko bencana tersebut.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional, sepanjang Januari-Desember 2018 terjadi 2.572 kejadian bencana yang sebagian besar merupakan banjir dan tanah longsor di seluruh Indonesia. Itu belum termasuk bencana banjir bandang Sentani pada 16 Maret 2019 yang menurut BNPB mengakibatkan 112 orang meninggal dan 92 orang hilang.
”Hutan yang terdampak ketika kita memerlukan (lahan/sumber daya alam) untuk pangan dan energi. Pasti akan mengurangi daya dukung lingkungan,” kata Nur Hygiawati Rahayu, Direktur Kehutanan dan Sumber Daya Air Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jumat (22/3), di sela-sela diskusi Hari Air di Jakarta yang diselenggarakan WWF Indonesia-HSBC Indonesia.
Hutan yang terdampak ketika kita memerlukan (lahan/sumber daya alam) untuk pangan dan energi. Pasti akan mengurangi daya dukung lingkungan.
Karena itu, perencanaan pembangunan tak bisa lagi dipikirkan secara sektoral. Perencanaan pembangunan dijalankan secara spasial dengan aspek kewilayahan menjadi dasar.
Bappenas memotret pertumbuhan ekonomi serta produk domestik regional bruto (PDRB) suatu daerah dengan daya dukung lingkungan. Selain itu, risiko bencana hidrometeorologis dan geologis disertakan untuk memitigasi bencana.
Faktor lain yang berpengaruh adalah perubahan iklim yang mempengaruhi curah hujan. Faktor daya dukung lingkungan yang turun karena lahan atau hutan kehilangan fungsinya sebagai penyimpan air ini diperparah dengan curah hujan ekstrem akibat fenomena perubahan iklim.
Upaya pemulihan lahan kritis untuk mengembalikan fungsinya sebagai tangkapan air kini tak bisa lagi mengandalkan pemerintah. Dengan area lahan 20 juta hektar di seluruh Indonesia dan kemampuan finansial, pemerintah hanya merevegetasi 25.000 hektar per tahun. Kolaborasi dengan sektor bisnis, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas masyarakat menjadi tumpuan kesuksesan.
Irwan Gunawan, Direktur Forest dan Freshwater WWF Indonesia, mengatakan, berbagai upaya pemulihan sungai kerap salah kaprah dengan normalisasi yang identik dengan betonisasi. Menurut dia, tak semua bagian sungai harus dibeton.
Naturalisasi
Ia merekomendasikan agar perbaikan mutu sungai dilakukan dengan naturalisasi. Contohnya, dengan menanami pohon sehingga mengerem laju air dan meningkatkan konservasi air permukaan. Dampak lainnya adalah berbagai biota tetap bisa hidup di kolom dan sempadan sungai.
Selain menimbulkan bencana hidrometeorologi, air yang tak terkelola pun menjadi sumber masalah. Ia mencontohkan, berdasarkan data pemerintah, 82 persen sungai dari sekitar 550 sungai di Indonesia rusak. Padahal, sungai itu digunakan langsung masyarakat sebagai sumber air minum, pertanian, kegiatan sosial, dan aktivitas industri.
Air tak terkelola ini bisa menyimpan kontaminan berbahaya bagi kesehatan karena pembuangan limbah kotor. Apabila masyarakat ataupun pelaku usaha yang masih mencemari sungai tidak mengubah cara pikir dan tindakannya, sungai akan terus tercemar sehingga menurunkan kualitas lingkungan dan warga.
Seiring perkembangan pembangunan berkelanjutan, setiap orang berhak mendapatkan akses ke air bersih. Agar tujuan ini tercapai, semua pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, bisnis, masyarakat sipil, dan individu, perlu menjalankan bagiannya dan bekerja sama.
Nuni Sutyoko, Senior Vice President Head of Corporate Sustainability HSBC Indonesia, mengatakan, sebagai penyedia jasa finansial, pihaknya juga bertanggung jawab agar klien yang dimodali menjalankan usaha secara bertanggung jawab. Ia mengatakan, pertimbangan keberlanjutan usaha dan dampak pada lingkungan menjadi penyaring bagi pemberian kredit.