Pengaruh Perang Dagang Semakin Signifikan terhadap Ekonomi Nasional
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meskipun Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, atau The Fed mempertahankan suku bunga acuan, pemerintah lebih menyoroti dampak perang dagang terhadap Indonesia. Dampak perang dagang dinilai lebih signifikan terhadap stabilitas rupiah dan ekonomi domestik dibandingkan pergerakan suku bunga The Fed.
Melalui rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 19-20 Maret 2019 waktu setempat, The Fed memutuskan mempertahankan tingkat suku bunga pada angka 2,25-2,5 persen. "Kalau dinaikkan, (perekonomian) Indonesia dapat tertekan lagi," ucap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Walaupun demikian, Darmin mengatakan, pemerintah lebih menanti kepastian selesainya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS). Pemerintah menilai, dampak perang dagang lebih signifikan dibandingkan fluktuasi suku bunga The Fed terhadap perekonomian nasional.
Pemerintah lebih menanti kepastian selesainya perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Pemerintah menilai, dampak perang dagang lebih signifikan dibandingkan fluktuasi suku bunga The Fed terhadap perekonomian nasional dari sisi eksternal.
Hal itu disebabkan oleh, pasar ekspor Indonesia masih bergantung pada AS dan China. Darmin berpendapat, jika kedua negara itu merugi dalam perang dagang, Indonesia berisiko ikut merugi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pangsa pasar ekspor nonmigas terbesar ialah China dan AS. Pada Januari-Februari 2019, pangsa pasar ke China sebesar 13,52 persen dan AS sebesar 11,54 persen.
Nilai ekspor ke China pada Januari-Februari 2019 turun menjadi 3,26 miliar dollar AS. Pada periode yang sama di tahun sebelumnya, nilai ekspor ke China sebesar 3,98 dollar AS. Penurunan nilai juga terjadi pada ekspor ke AS. Pada Januari-Februari 2018, ekspor ke AS bernilai 2,83 miliar dollar AS sedangkan pada tahun ini sebesar 2,79 dollar AS.
Berdasarkan penelitiannya, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, dampak perang dagang terhadap stabilitas nilai tukar rupiah lebih besar dibandingkan pergerakan suku bunga The Fed. "Dampak fluktuasi suku bunga The Fed di Indonesia berlangsung sekitar 2-3 bulan. Namun, dampak perang dagang di Indonesia berkisar 6-7 bulan," katanya saat dihubungi secara terpisah.
Dampak fluktuasi suku bunga The Fed di Indonesia berlangsung sekitar 2-3 bulan. Namun, dampak perang dagang di Indonesia berkisar 6-7 bulan.
Dampak perang dagang yang paling kentara, menurut Fithra, tampak dari neraca perdagangan. Pada Januari-Februari 2019, BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 730 juta dollar AS.
Perang dagang mulai mencuat pada 2018. Berdasakan data dari BPS, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan terdalam, yakni sebesar 8,5 miliar dollar AS. Padahal, pada 2017, Indonesia mencatatkan surplus sebesar 11,84 miliar dollar AS.
Secara struktural, Fithra menuturkan, perang dagang menyebabkan defisit neraca perdagangan Indonesia kian dalam. Hal ini berdampak pada semakin mendalamnya defisit transaksi berjalan nasional yang berimbas pada tertekannya nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada 2018 sebesar 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Pada 2017, angka defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 16,2 miliar dollar AS atau 1,6 persen terhadap PDB.