Suap Pembangunan PLTU, Idrus Marham Dituntut 5 Tahun Penjara
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Menteri Sosial yang juga mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dituntut pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Ia diyakini bersalah atas kasus dugaan menerima hadiah berupa uang dari pengusaha Johannes B Kotjo guna memenangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Tuntutan tersebut disampaikan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/3/2019). Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Yanto.
”Menuntut, pertama, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Kedua, menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan,” kata jaksa Lie Putra Setiawan.
Jaksa menilai, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Adapun hal yang meringankan adalah Idrus belum pernah dihukum dan berperilaku sopan selama persidangan. Idrus juga dinilai tidak menikmati hasil kejahatannya.
Jaksa meyakini, Idrus terbukti meminta uang Rp 2,25 miliar dari pengusaha Johannes B Kotjo. Uang tersebut diterima Idrus bersama dengan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih untuk membantu Kotjo memenangkan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Proyek PLTU
Proyek tersebut, menurut rencana, akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources, dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa Kotjo. Kotjo melalui Rudy Herlambang, Direktur PT Samantaka Batubara, mengajukan permohonan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 kepada PT PLN Persero agar memasukkan rencana proyek tersebut dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN.
Namun, PT PLN belum memberikan tanggapan terhadap surat itu. Kotjo pun menemui Setya Novanto, Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar. Dalam pertemuan itu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dengan PT PLN.
Menindak lanjuti permintaan Kotjo itu, Novanto memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR yang membawahkan bidang energi, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup. Untuk membantu Kotjo dalam mendapatkan proyek PLTU, Eni mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak PT PLN beberapa kali. Bahkan Eni juga mempertemukan Kotjo dengan Direktur Utama PLN Sofyan Basir secara langsung.
Setelah Setya Novanto menjadi tersangka dalam kasus pengadaan KTP-el, Eni mulai melaporkan perkembangan proyek PTU tersebut kepada Idrus. Hal itu dilakukan Eni agar Kotjo tetap memperhatikannya sehingga Eni mendapatkan upah dari Kotjo untuk mengawal proyek tersebut.
Kepentingan Munaslub
Selanjutnya, Idrus selaku penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar mengarahkan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dollar AS kepada Kotjo guna keperluan pembayaran Munaslub Partai Golkar 2017.
Idris bersama Eni pun bertemu dengan Kotjo untuk membicarakan uang tersebut dan kesepakatan upah persenan jika proyek PLTU terlaksana. Kotjo pun memberikan uang Rp 2 miliar kepada Idris dan Eni melalui sekretaris pribadinya, Audrey RJ.
Jaksa menambahkan, Idrus juga meminta kepada Kotjo agar membantu Eni guna keperluan keperluan Pilkada Temanggung suaminya. Atas permintaan Idris tersebut, Kotjo pun memberikan uang Rp 250 juta kepada Eni lewat Audrey.
Total penerimaan uang dari Kotjo Rp 2,25 miliar tersebut, sebanyak Rp 713 juta diserahkan Eni selaku bendahara Munaslub kepada Muhammad Sarmuji selaku wakil sekretaris Steering Committee Munaslub Partai Golkar Tahun 2017 sesuai dengan keinginan Idris.
Jaksa menilai, perbuatan Idrus melanggar Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Atas tuntutan tersebut, Idrus dan kuasa hukumnya akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi. Hakim Yanto pun menyetujuinya dan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pleidoi akan digelar pada 28 Maret 2019. (MELATI MEWANGI)