Stigma Harga Hambat Penggunaan dan Pengembangan Energi Terbarukan
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petugas mengecek panel surya di pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 600 KWP di Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/3/2018). Pembangkit listrik yang memanfaatkan cahaya matahari tersebut turut menunjang pasokan listrik kepada 2.314 pelanggan di salah satu pulau terluar tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Stigma soal harga yang masih mahal dinilai menghambat penggunaan energi terbarukan. Padahal, teknologi energi terbarukan, seperti panel surya, sudah jauh lebih murah dibandingkan sepuluh tahun lalu.
Direktur Eksekutif Enter Nusantara Mutia di Jakarta, Rabu (20/3/2019) malam, mengatakan, stigma soal energi terbarukan mahal disebabkan isu energi terbarukan tidak populer di tengah masyarakat. Akibatnya, ada anggapan bahwa sesuatu yang menggunakan teknologi yang baru harganya mahal.
Stigma tersebut menyebabkan upaya peralihan penggunaan energi fosil, seperti batubara, ke energi terbarukan tersendat. Sejauh ini, capaian bauran energi terbarukan baru sekitar 12 persen atau jauh dari target pemerintah yang sebesar 23 persen pada 2025.
”Stigma bahwa energi terbarukan mahal mesti ditiadakan,” kata Mutia seusai menjadi panelis dalam acara Showcase Energi Bersih Masa Depan Indonesia yang diadakan oleh #BersihkanIndonesia.
Mutia menambahkan, anggapan energi fosil masih lebih murah daripada energi terbarukan karena pemerintah masih memberikan subsidi. Padahal, jika subsidi itu dialihkan ke energi terbarukan, harga energi terbarukan akan jauh lebih murah. Di negara lain, harga energi terbarukan sudah bisa mengalahkan energi fosil.
Anggapan energi fosil masih lebih murah daripada energi terbarukan karena pemerintah masih memberikan subsidi. Padahal, jika subsidi itu dialihkan ke energi terbarukan, harga energi terbarukan akan jauh lebih murah.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS
Mutia
Co-Founder dan CEO PT Surya Utama Ryan Manafe mengatakan, harga panel surya saat ini sudah sangat terjangkau. Harganya tinggal satu persepuluh jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.
Ryan menjelaskan, perusahaan rintisan bidang energi terbarukan itu telah mengoperasikan tiga megawatt panel surya di beberapa mal Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten, dan pabrik di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Kapasitas itu bisa mengelektrifikasi hingga 10.000 rumah.
Saat ini, perusahaan itu sedang membangun panel surya kapasitas 7,5 megawatt di Tanjung Jabung Barat, Jambi, untuk keperluan industri tanpa subsidi dari pemerintah.
”Kalangan industri yang berlangganan listrik dari panel surya itu mengaku tagihan listriknya bisa turun lebih dari Rp 100 juta. Jadi, kalau dibilang harga energi terbarukan tidak bisa bersaing dengan energi fosil, itu tidak benar,” kata Ryan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas PLN memeriksa panel surya di rumah warga di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (25/11). Pemilik rumah, Surya A Soepono, mengakui, pemasangan panel surya tersebut sebagai bentuk investasi untuk mengatasi tarif listrik yang terus naik. Kelebihan energi listrik dari pelanggan panel surya ini akan diteruskan ke PLN melalui sistem ekspor impor.
Associate Director Climate Policy Tiza Mafira mengatakan, mitos-mitos tentang energi harus diluruskan. Indonesia memang membutuhkan lebih banyak energi, tetapi itu di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh pembangkit listrik.
Sementara itu, di wilayah lain yang akses listriknya sudah baik, terutama Jawa, pasokannya sudah melebihi kapasitas. ”Mestinya di daerah-daerah yang belum terjangkau listrik ini mulai menerapkan energi terbarukan. Tidak perlu lagi membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara,” kata Tiza.
Mestinya di daerah-daerah yang belum terjangkau listrik ini mulai menerapkan energi terbarukan. Tidak perlu lagi membangun PLTU.
Menurut Tiza, subsidi yang terus dilakukan pemerintah terhadap komoditas batubara untuk PLTU membuat harga listrik menjadi palsu. Akibatnya, harga listrik dari energi terbarukan menjadi lebih mahal secara komersial.
Lebih lanjut, Ryan mengapresiasi dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara. Peraturan itu melegalisasi usaha yang telah digarap Ryan selama ini.
Akan tetapi, Ryan mengeluhkan implementasi peraturan itu yang belum mengakomodasi industri. Dalam implementasinya, peraturan itu mengenakan biaya kepada industri yang hendak memasang instalasi panel surya. Biaya tersebut sangat membebani industri.
”Semestinya implementasi peraturan ini memfasilitasi penggunaan energi terbarukan, bukan menghalangi,” ujar Ryan.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS
Ryan Manafe
Hal senada diungkapkan Mutia. Birokrasi yang rumit menyebabkan masyarakat akhirnya enggan beralih ke energi terbarukan. ”Kita coba bangun kantor pakai panel surya di jaringan listrik, birokrasinya harus bolak-balik. Ini yang menyebabkan orang malas beralih. Birokrasinya belum siap,” ujar Mutia. (YOLA SASTRA)