DENPASAR, KOMPAS - Setelah sebelumnya mengekspor manggis ke China pada Januari 2018, kini Bali mulai mengirim salak gula pasir ke Kamboja. Pengiriman perdana salak gula pasir itu dilepas Gubernur Bali I Wayan Koster, Kamis (21/3/2019) di kawasan Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali.
“Pengiriman poduk lokal Bali untuk ekspor ini adalah hal bagus, ini bagian dari penggunaan produk lokal. Ekspor ini menunjukkan tersedianya pasar di luar negeri,” tambah kata Koster.
Volume salak yang diekspor mencapai 500 kilogram. Salah berasal dari hasil perkebunan di Kabupaten Tabanan. Ekspor dilakukan oleh PT Serena Sejahtera.
Petani salak dari Kabupaten Tabanan Wayan Suadnya menyatakan ekspor salak gula pasir menjadi solusi masalah yang dihadapi petani. Petani salak sering kesulitan memasarkan salak ketika masa panen, terutama berkaitan dengan harga jual. “Selama ini pemasaran salak masih sebatas pasar lokal. Ketika panen raya, produksi salak yang banyak menjadi masalah,” ujar Suadnya. Pada saat itu harga salak jatuh.
Kontinuitas
Direktur PT Serena Sejahtera Mulianta mengatakan, pengiriman perdana salak gula pasir ke Kamboja itu menjadi upaya rintisan yang diharapkan berkelanjutan. Saat ini, lanjut Mulianta, eksportir dan mitra dagangnya di negara tujuan ekspor membutuhkan kepastian menyangkut kontinuitas produk karena komoditas pertanian itu tidak diproduksi sepanjang waktu.
Eksportir dan mitra dagangnya di negara tujuan ekspor membutuhkan kepastian menyangkut kontinuitas produk karena komoditas pertanian itu tidak diproduksi sepanjang waktu. (Mulianta)
“Kami berharap produknya dapat kontinu disediakan sehingga negara tujuan mendapat kepastian mengenai jumlah, harga, dan waktu pengiriman,” ujar Mulianta.
Mulianta menambahkan, salak Bali diminati di sejumlah negara di Asia, misalnya, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan China. “Indonesia ini potensinya besar dalam produk pertanian,” ujar Mulianta.
Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar I Putu Terunanegara menyatakan salak asal Bali termasuk produk pertanian yang diminati pasar internasional, selain manggis. Badan Karantina Pertanian memfasilitasi dan mendorong percepatan ekspor komoditas pertanian.
Sementara Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta Imam Djajadi yang mewakili Kepala Badan Karantina Pertanian mengatakan, Badan Karantina Pertanian berperan dalam proses sertifikasi produk pertanian agar memenuhi persyaratan ekspor ke negara mitra dagang. Sertifikasi produk pertanian menjadi jaminan dan jalur hijau agar produk pertanian diterima pasar internasional.
Rp 17,4 miliar
Selain salak dan manggis, pada hari sama itu dilepas pula komoditas pertanian lain untuk tujuan ekspor, di antaranya, sarang burung walet, kepompong ulat sutera, anak ayam umur satu hari (DOC), dan bunga anggrek. Manggis diekspor ke China sedangkan anak ayam DOC diekspor ke Timor Leste. Secara keseluruhan, produk pertanian yang diekspor dari Bali itu dinyatakan bernilai sekitar Rp 17,4 miliar.
Koster menyatakan Pemerintah Provinsi Bali berkomitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali, termasuk petani. Pihaknya telah membuat kebijakan, di antaranya Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali yang mensyaratkan kewajiban hotel, restoran, swalayan, dan usaha katering memanfaatkan produk lokal Bali.
Koster mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan pasar tematik produk pertanian di daerah sentra produksi, misalnya, Kabupaten Bangli sebagai sentra jeruk, Kabupaten Tabanan sebagai sentra manggis, dan Kabupaten Karangasem sebagai sentra salak. “Seperti di Bangkok, ada daerah dengan pasar tematiknya,” kata Koster.