Orangutan Sumatera, Terkurung di "Penjara" Kebun Sawit
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
SUBULUSSALAM, KOMPAS –Tubuh pertiwi tak segarang namanya. Orangutan sumatera betina (Pongo abelii) itu letih lesu saat dikeluarkan dari "penjara" kebun sawit di Desa Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, Rabu (20/3/2019).
Berumur tujuh tahun, dia terpisah dari kelompoknya. Bertahan hidup sendirian, pertiwi kurang gizi. Dia bisa mati kapan saja. Tak perlu banyak tenaga, tak butuh senapan bius untuk mengevakuasinya. Hanya digiring ke pohon yang lebih rendah, mentari sudah bisa ditangkap.
Pertiwi sudah kehabisan tenaga. Tubuhnya kurus. Berat badannya hanya 5 kilogram. Diduga, dia sulit mendapat asupan makanan ideal saat hidup terkurung di kebun sawit.
Tubuhnya kurus. Berat badannya hanya 5 kilogram. Diduga, mentari kurang gizi
“Setelah semua pemeriksaan fisik, mentari belum layak dilepasliarkan kembali. Dia harus menjalani perawatan lebih lanjut,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo, Kamis (21/3/2019).
Dari hasil pemeriksaan, organ tubuhnya lengkap. Namun, tangan kanannya kurang respon. Denyut nadinya 63 per menit, saturasi oksigen 95 persen, dan denyut jantung 85 kali per menit. Suhu tubuh tinggi, menembus 38,2 derajat celsius. Saat ini, pertiwi dibawa ke Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit, Sumatera Utara, untuk penanganan lebih jauh.
Terusir
Nasib pertiwi melengkapi ironi orangutan sumatera yang tersisa di Aceh. Seminggu sebelumnya, dua orangutan juga ditemukan kritis di tengah kebun sawit. Periode 2013-2018, BKSDA Aceh menyita 40 orangutan dari warga dan 57 orangutan lainnya dari dari kebun warga. Orangutan itu kemudian dilepasliarkan kembali ke habitat yang masih alami.
Sapto mengatakan, orangutan kian terusir dari rumahnya. Alihfungsi hutan menjadi perkebunan sawit menyebabkan habitat orangutan menyusut. Orangutan kian tersudut hidup terkurung di kebun sawit.
Bukan hanya di Subulussalam, kondisi serupa juga terjadi di Aceh Barat Daya dan Nagan Raya. Kawasan gambut Rawa Tripa, yang berada diantara dua kawasan itu, kini terancam. Pernah jadi habitat utama orangutan kini berganti menjadi perkebunan sawit. Kata Sapto, jika Rawa Tripa tidak dipulihkan, orangutan di kawasan itu suatu saat akan punah.
Populasi orangutan di Rawa Tripa menurun tajam. Pada 1990, jumlahnya tercatat 3.000 ekor. Namun, pendataan tahun 2012, jumlahnya anjlok hingga hanya 300 ekor. Data setahun lalu bahkan menyebutkan populasi orangutan di Rawa Tripa tinggal 150 ekor. Penurunan itu terjadi seiring masifnya alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit.
Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo mengatakan, orangutan kian terancam karena kerusakan habitat dan perdagangan ilegal. Kata Panut, penegakan hukum terhadap kejahatan satwa lindung orangutan masih lemah.
Pada 2018, YOSL-OIC mengevakuasi 14 orangutan yang terisolasi di perkebunan warga di Aceh. Orangutan itu kemudian direlokasi ke kawasan hutan. Di tahun yang sama, enam ekor orangutan juga disita dari warga.
Akan tetapi, Panut mengatakan penyitaan tidak memberikan efek jera. Tidak ada sanksi hukum bagi pelakunya. Panut mendesak aparatur hukum menindak warga yang memelihara dan memperdagangkan satwa yang dilindungi itu. Jangan ada lagi pertiwi dan orangutan lain yang harus hidup merana, kelaparan di tengah mewahnya "penjara" hamparan sawit.