Mengais \'Modal Sosial\' di Cak Tarno Institute
"Lebih dari ruang diskusi biasa, di Cak Tarno Institute ini saya mendapatkan banyak modal sosial," kata Hasan Aspahani, salah satu penyair terkenal saat ditemui di toko buku Cak Tarno, Depok, Jawa Barat, Rabu (20/3/2019).
Lebih lanjut Hasan menjelaskan, modal sosial yang dia maksud adalah jaringan pertemanan, perspektif beragam tentang sesuatu serta inspirasi yang bisa mengantarnya melahirkan sebuah karya besar.
Cak Tarno Institute (CTI) adalah sebuah forum diskusi ilmiah yang lahir dari kebiasaan menongkrong dan beradu argumen yang dilakukan oleh para pelanggan toko buku Cak Tarno. Diskusi tersebut diadakan setiap Sabtu pukul 14.00 WIB di depan kios buku Cak Tarno, tak jauh dari kantin Sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI).
Dalam CTI, pembicara akan mempresentasikan karya dan pemikirannya di hadapan peserta. Para peserta pun kemudian diberi kesempatan untuk mencurahkan perspektifnya terkait karya atau pemikiran pembicara. Peserta dalam diskusi ini dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, akademisi, sastrawan, seniman dan lain-lain.
Pokok bahasan dalam diskusi tersebut beragam. Mulai dari isu yang "berat" hingga isu-isu kontemporer yang ringan. Beberapa tema yang pernah dibahas, antara lain terkait sampah, perbandingan perasaan orang Minang dengan orang Jepang, silat Betawi, dan lain-lain.
Pembicara dalam CTI tidak hanya datang dari civitas academica Universitas Indonesia, melainkan siapapun yang ingin karyanya dipresentasikan. Syarat mutlak yang harus dibawa saat presentasi adalah makalah ilmiah. Artinya, dasar pemikiran dan pembicaraan pembicara dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa orang terkenal pernah memprentasikan karya-karyanya di CTI ini seperti, Bagus Takwin, Robertus Robet, Damhuri Muhammad, Daniel Hutagalung, Geger Riyanto, Rocky Gerung dan lain-lain.
Hasan bercerita, suatu ketika, dirinya yang pernah bekerja sebagai jurnalis itu sedang kesulitan mencari narasumber untuk melengkapi tulisannya. Dia kemudian memutuskan untuk mengikuti diskusi di CTI.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Hasan bertemu dengan orang-orang yang bisa memberi dia "jalan" untuk mendapatkan narasumber.
"Melalui diskusi di CTI saya bertemu dengan orang-orang yang bisa memberi jalan untuk menemukan narasumber. Sebagian karya saya yang lain juga lahir karena orang-orang yang saya temui di CTI," ucap Hasan.
Setali tiga uang, seorang mahasiswa Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Moelyono (40), merasakan manfaat yang sama dengan Hasan. Tidak hanya jaringan pertemanan dan perspektif lain dalam memandang sesuatu persoalan. Melalui forum diskusi yang terjadi di toko buku Cak Tarno, ini, Moelyono tak sengaja mendapatkan "kuliah".
"Pada awalnya saya berniat membeli buku saja di sini. Selama memilih buku mau tak mau saya mendengar apa yang sedang orang-orang bicarakan. Hal itu membuat saya yang awalnya bingung menjadi paham. Ya, seperti tak sengaja kuliah begitu," kata Moelyono.
Keuntungan
Cak Tarno mengaku dirinya hampir tidak pernah mendapatkan keuntungan materi dari CTI. Namun, dia tetap konsisten menyelenggarakan CTI selama lebih kurang 14 tahun ini.
"Kalau bicara keuntungan materi, ya, hampir tidak ada. Tapi kalau keuntungan selain materi, sudah tak terhitung lagi jumlahnya," tutur Cak Tarno seraya tersenyum.
Dalam CTI ini Cak Tarno tak pernah menarik biaya apapun dari para pesertanya. Bahkan, Cak Tarno seringkali harus mengeluarkan biaya ekstra untuk fotokopi materi presentasi. Cak Tarno ingin para peserta memegang materi presentasi yang sedang diulas oleh pembicara sehingga diskusi bisa berjalan dengan baik.
Bagi Cak Tarno, rezeki tidak hanya uang. Membagikan ilmu dan memberi kesempatan orang lain untuk mendapatkan ilmu juga dianggap sebagai rezeki oleh ayah tiga anak itu.
"Saya meminjam istilah ilmu kantong bolong dari Sosro Kartono dalam menjalankan CTI ini. Saya memasukkan rezeki yang saya dapat ke dalam kantong yang bolong. Jadi saat rezeki itu hilang saya tidak merasa kehilangan," ujar Cak Tarno.
Toko buku
CTI tumbuh seiring dengan berkembangnya toko buku Cak Tarno. Sebuah toko buku berukuran 5 meter x 3,5 meter itu mampu menyediakan kebutuhan orang-orang akan buku-buku bertema sosial humaniora.
Pelajar, mahasiswa, peneliti hingga dosen menjadikan toko buku ini sebagai rujukan dalam mencari referensi lanjutan. Cak Tarno paham betul dengan buku-buku yang dijual di tokonya. Ketika ada seseorang datang mencari referensi, dengan mudah Cak Tarno bisa memberi saran.
Meski hanya tamatan sekolah menengah pertama, penguasaan Cak Tarno terhadap ilmu pengetahuan tergolong cukup baik. Menurut pemaparan beberapa pelanggannya, Cak Tarno selalu tahu buku apa yang harus dibaca oleh seseorang ketika sedang mencari tahu atau mengerjakan sesuatu. Moelyono bahkan menyebut Cak Tarno seperti seorang karyawan bagian pemasaran yang mengetahui seluk beluk produk-produknya dengan baik.
"Mungkin saya dianggap mampu memberi rujukan terkait buku yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan karena saya sering bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Ketika saya tidak tahu buku apa yang harus saya sarankan pada pelanggan, saya coba menghubungi teman-teman untuk tanya kira-kira buku apa yang harus saya sarankan kepada pelanggan tersebut," papar Cak Tarno merendah.
Belakangan, kabar mengenai rencana kepindahan toko buku Cak Tarno ramai dibicarakan di media sosial dan diulas dalam beberapa pemberitaan. Kabar ini membuat para pelanggan setia Cak Tarno khawatir. Salah satunya, Hasan.
Disrupsi
Hasan menyayangkan kabar yang menyebutkan bahwa Cak Tarno terpaksa harus berpindah karena tak mampu membayar biaya sewa kios. Adapun Cak Tarno mengakui, rencana kepindahannya tersebut terjadi karena dirinya merasa tidak mampu membayar biaya sewa.
"Harga sewa kiosnya naik dari Rp 9 juta menjadi sekitar Rp 17 juta per tahun. Jujur saya akui, uang hasil penjualan buku tidak bisa menutupi biaya sewa dengan jumlah tersebut. Jualan buku fisik di era digital tidak mudah," kata dia.
Disrupsi digital bagai pedang bermata dua bagi toko buku Cak Tarno. Di satu sisi, toko bukunya kalah dengan produk-produk buku elektronik. Di sisi lain, dirinya bisa mendapatkan buku-buku elektronik dengan lebih mudah. Dia pun tak perlu repot memesan jasa pengiriman barang untuk mengirim buku fisik kepada pelanggannya. Ia hanya perlu mengirimkan buku elektronik melalui surat elektronik (surel). Meskipun terkadang buku elektronik itu diberikan secara cuma-cuma atau gratis kepada pelanggannya.
Akhir April nanti masa sewa toko Cak Tarno habis. Dia harus segera meninggalkan kios dan mencari tempat lain. Untuk itu, tak heran bila Rabu sore beberapa buku sudah mulai diturunkan dari raknya.
Kardus-kardus berisi buku juga terlihat di beberapa bagian toko. Menurut Cak Tarno, dirinya memang sudah mulai menyicil membawa buku-buku pulang ke rumah.
Sebelum menetap di kawasan FIB UI, toko buku Cak Tarno ini terletak di Gang Sawo, yang menjadi penghubung antara Jalan Margonda Raya dan Stasiun UI di Kampus UI. Setelah direlokasi pada sekitar tahun 2010, toko itu akhirnya pindah ke FIB UI.
Tetap berjalan
Kabar rencana kepindahan kemudian merambat menjadi isu bubarnya CTI. Namun, dengan tegas Cak Tarno menyangkal isu tersebut.
"Apapun yang terjadi CTI tetap akan berjalan. Saya akan mengupayakan CTI berlangsung setiap Sabtu. Untuk urusan tempat akan saya cari nanti dimana yang cocok," ucapnya mantap.
Selain menambah modal sosial, forum-forum seperti CTI ini menurut Cak Tarno diperlukan agar setiap orang yang butuh untuk mencurahkan pemikirannya. Mencurahkan pemikiran perlu dilakukan untuk tetap menjaga kewarasan di tengah rutinitas harian seseorang. (KRISTI DWI UTAMI)