JAKARTA, KOMPAS — Kondisi pasar modal tahun ini jauh lebih kondusif dibandingkan dengan tahun lalu. Tekanan ekonomi global dan domestik yang terjadi tahun lalu diyakini mulai pudar tahun ini.
Tahun ini, ekspektasi pertumbuhan ekonomi rendah. Adapun valuasi pasar saham Asia dan Indonesia di level wajar sehingga menarik bagi investor.
”Sedikit pergerakan positif ekonomi global dapat menjadi sentimen yang baik untuk menopang pasar keuangan,” kata Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Freddy Tedja di Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Menurut dia, perundingan dagang Amerika Serikat dan China serta kebijakan moneter yang tak seketat tahun lalu membuat modal asing akan berbalik arah. Ia meyakini, modal asing akan kembali masuk ke Indonesia.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Rabu ditutup pada posisi 6.482,71. Sejak awal tahun ini, IHSG menguat 4,65 persen. Investor asing membukukan transaksi beli bersih Rp 10,829 triliun sejak awal 2019.
Perbanyak instrumen
Indonesia masih perlu memperbanyak instrumen investasi untuk memperdalam pasar modal dan membuat investor betah menyimpan dana lebih lama di pasar modal. Dengan instrumen investasi yang lebih banyak, investor domestik dan asing memiliki lebih banyak pilihan dan tertarik menanamkan dana dalam jumlah lebih besar di pasar modal Indonesia.
”Tantangan utama dalam memperdalam pasar modal adalah jumlah produk investasi yang masih relatif kurang. Perlu kreativitas untuk memperbanyak produk-produk investasi,” kata Inarno Djajadi, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin, di Jakarta.
Tahun ini, Inarno menargetkan penambahan penerbitan 75 surat berharga atau efek. Penerbitan efek tersebut terdiri dari penawaran umum saham perdana (IPO), surat utang korporasi, serta kontrak investasi kolektif efek (KIK).
Salah satu produk investasi yang ingin didorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah produk sekuritisasi atau efek beragun aset. Metode yang digunakan bisa beragam, antara lain sekuritisasi atas tagihan, piutang atau pendapatan.
Inarno menambahkan, BEI sedang menyiapkam sistem baru sebagai penyelenggara pasar alternatif bagi efek bersifat utang dan sukuk (EBUS).
”Inisiatif ini merupakan tindak lanjut dari mandat Kementerian Keuangan yang ingin pasar sekunder lebih tertata bagi obligasi negara,” ujarnya.
Pada 2018, penghimpunan dana lewat pasar modal yang terdiri dari penerbitan surat utang korporasi, penawaran umum saham perdana, dan KIK mencapai Rp 162,3 triliun. Capaian ini meleset dari target OJK, yakni Rp 250 triliun.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, tahun ini BEI tidak menargetkan besaran dana yang terhimpun. Upaya yang dilakukan BEI antara lain mengajak perusahaan berbasis digital untuk menjadi bagian pasar modal. (DIM)