Indonesia Turut Prakarsai Resolusi PBB
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia bersama dengan dunia internasional berkomitmen untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan hidup. Secara khusus, delegasi Indonesia memprakarsai lima dari 23 resolusi yang disepakati dalam Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan (United Nations Environment Assembly/UNEA) Ke-4.
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi mengatakan, kelima resolusi tersebut berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan.
”Kelima resolusi tersebut adalah konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, pengelolaan lahan gambut, pelestarian hutan bakau, perlindungan lingkungan laut, dan manajemen terumbu karang,” kata Laksmi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Adapun UNEA Ke-4 diadakan di Nairobi, Kenya, pada 11 hingga 15 Maret 2019. Acara ini diikuti oleh 4.000 peserta dari 170 perwakilan negara dan organisasi internasional.
United Nations Environment Assembly (UNEA) merupakan badan pembuat keputusan tingkat tertinggi di dunia tentang lingkungan. Badan ini dibentuk pada Juni 2012 saat pemimpin-pemimpin dunia sepakat untuk memperkuat badan lingkungan dunia di PBB. Tugas utama badan tersebut adalah mengatasi tantangan lingkungan kritis yang dihadapi dunia saat ini.
UNEA mengadakan sidang tiap 2 tahun sekali. Sidang tersebut mengangkat isu yang berbeda dan spesifik pada permasalahan global. Hasil sidang tersebut berupa kebijakan lingkungan global dan resolusi-resolusi yang kemudian diimplementasikan di tiap negara anggota.
Sidang pertama (23-27 Juni 2014) dan kedua (23-27 Mei 2016) membahas tentang perdagangan ilegal satwa liar, kualitas udara, aturan hukum lingkungan, dan ekonomi hijau. Total dihasilkan 17 poin resolusi, di antaranya tentang sampah plastik dan mikroplastik di laut, sistem pemantauan lingkungan global, hingga manajemen keuangan global untuk lingkungan.
Sidang selanjutnya (4-6 Desember 2017) bertemakan “Menuju Planet Bebas Polusi” dan dihadiri 4.300 delegasi dari berbagai belahan dunia. Sidang ketiga ini menghasilkan 11 poin resolusi, antara lain mitigasi polusi, manajemen politik lingkungan, hingga polusi di daerah konflik atau terorisme.
Sidang keempat (11-15 Maret 2019) mengambil tema “Solusi Inovatif Untuk Tantangan Lingkungan, Konsumsi, dan Produksi Berkelanjutan”. Sekitar 4.000 delegasi hadir dan menghasilkan 23 poin resolusi. Peran aktif Indonesia terlihat di sidang keempat, yaitu memprakarsai 5 dari 23 poin resolusi tentang konsumsi dan produksi berkelanjutan, pengelolaan lahan gambut, pelestarian hutan bakau, perlindungsn lingkungan laut, dan manajemen terumbu karang.
Pengaturan bahan kimia
Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Noer Adi Wardojo mengatakan, Indonesia berkomitmen untuk melanjutkan pengaturan terhadap bahan kimia secara bertanggung jawab.
Ia menjelaskan, sumber permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah penggunaan merkuri, plastik, dan bahan kimia. Sampah plastik dan popok serta emisi gas rumah kaca juga perlu dikendalikan agar tidak membuat lingkungan semakin rusak.
Karena itu, pemerintah dan pelaku bisnis perlu bersama-sama mengatasi permasalahan tersebut agar dapat tercipta pola konsumsi serta produksi yang berkelanjutan. Adi mengatakan, Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi permasalahan ini sejak tahun 1992 hingga sekarang.
Setelah 27 tahun, Indonesia mengajak seluruh dunia untuk melakukan hal yang sama. Persoalan yang saat ini perlu dipecahkan adalah cara penyampaian komitmen ke seluruh lapisan masyarakat agar mau menjaga lingkungan hidup.
Dari pemerintah, mereka telah mengupayakan kerja sama dengan pengelola fasilitas umum, seperti bandara dan stasiun, agar menyediakan minuman isi ulang. Cara itu dipandang dapat mengurangi penggunaan botol plastik untuk minum.
Ekosistem laut
Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Suseno Sukoyono mengatakan, perlindungan terhadap lingkungan laut telah menjadi salah satu komitmen yang terus diperjuangkan Indonesia.
”Setiap tahun pemerintah mengucurkan dana hingga Rp 16 triliun untuk perlindungan poros kelautan Indonesia,” kata Suseno.
Komitmen tersebut dibawa ke dunia internasional agar bersama-sama melindungi lingkungan laut. Secara khusus, perlindungan terumbu karang perlu terus ditingkatkan sebab terumbu karang hanya ada di 25 negara dan 25 persen mamalia laut bergantung pada terumbu karang.
Terumbu karang juga menjadi tempat tinggal aneka ikan yang memiliki keuntungan ekonomi yang tinggi, yakni mencapai 1 miliar dollar AS per tahun. ”Kita yakinkan kepada dunia untuk ikut menjaga kelestarian terumbu karang,” kata Suseno.
Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Dida Migfar Ridha mengatakan, permasalahan yang masih terjadi di laut adalah limbah industri domestik. Ia berharap resolusi ini dapat ditindaklanjuti dengan tindakan nyata.
Selain terumbu karang, pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga kelestarian ekosistem gambut dan hutan bakau. Kepala Bagian Program dan Kerja Sama Badan Litbang dan Inovasi KLHK mengatakan, Indonesia memiliki 15 juta hektar lahan gambut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Ancaman penurunan kualitas ekosistem gambut adalah adanya pengeringan. Lahan gambut yang kering menyebabkan oksigen memasuki gambut. Mereka akan bereaksi melepaskan karbon dan nitrogen ke udara serta gas nitrat ke permukaan air. Pelepasan gas akan memperbesar gas emisi rumah kaca.
Terkait dengan pelestarian hutan bakau, Kepala Subbagian Kerja Sama Teknis Sekretariat Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Nur Azis mengatakan, Indonesia memiliki 20 persen dari total hutan bakau di seluruh dunia.
”Sayangnya, Indonesia kehilangan 52.000 hektar hutan bakau tiap tahun karena ada konversi lahan untuk pertanian,” kata Azis. Ia menuturkan, ekosistem hutan bakau harus dikelola secara berkelanjutan karena hutan bakau dapat menjadi sumber makanan dan berpengaruh terhadap perubahan iklim.