Jumlah sungai di Palembang terus menyusut akibat maraknya penimbunan sungai yang lahannya digunakan untuk pembangunan. Selama 89 tahun, sebanyak 221 sungai di Palembang hilang.
Oleh
Rhama Purna Jati
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS—Jumlah sungai di Palembang terus menyusut akibat maraknya penimbunan sungai yang lahannya digunakan untuk pembangunan. Selama 89 tahun, sebanyak 221 sungai di Palembang hilang. Pemberian izin pembangunan oleh pemerintah diharapkan konsisten mengacu pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Hal ini mengemuka dalam Seminar Nasional Hari Air Dunia Tahun 2019 dengan tema Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan di Palembang, Kamis (21/3/2019).
Wali Kota Palembang Harnojoyo mengatakan, saat ini jumlah sungai di Palembang terus menyusut. Pada 1930, jumlah sungai di Palembang mencapai 316 sungai, sekarang jumlahnya hanya tersisa 95 sungai. Dengan demikian selama 89 tahun, sebanyak 221 sungai di Palembang hilang.
Menurut wali kota, jumlah sungai menurun tajam karena tergusur pembangunan di wilayah Palembang. Sungai-sungai berubah fungsi menjadi lahan perumahan baru. “Hal ini juga seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Dengan berkurangnya sungai di Palembang, daerah serapan air pun berkurang. Risiko banjir juga semakin tinggi,” kata Harnojoyo.
Sungai-sungai berubah fungsi menjadi lahan perumahan baru. (Harnojoyo)
Risiko banjir bertambah karena warga kerap membuang sampah di sungai. Hal ini juga berdampak pada menurunnya kualitas air. Bahkan banyak sungai yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi airnya. “Banyak sungai yang sudah jadi comberan. Jangan sampai Sungai Musi berubah jadi comberan,” katanya.
Melihat kondisi ini, lanjut Harnojoyo, pemerintah sudah melakukan sejumlah kebijakan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palembang. Kebijakan itu menekankan pada gotong royong untuk membersihkan sampah di sungai, pembangunan kolam retensi, dan restorasi sungai. “Hal ini dilakukan agar kondisi sungai yang tersisa saat ini tetap baik,” ujar Harnojoyo.
Upaya revitalisasi sungai telah terealisasi pada Sungai Sekanak dan akan berlanjut pada Sungai Buah dan Sungai Lambidaro. Pihaknya juga akan bersikap tegas terkait perizinan pembangunan agar tidak terjadi lagi penimbunan di atas lahan rawa. “Siapa yang mencoba bermain-main pada aturan tersebut akan saya tindak tegas,” ujar Harnojoyo.
Menurutnya, kesadaran masyarakat untuk menjaga sungai masih rendah. Hal inilah membuat aturan tentang sanksi untuk membuang sampah sembarang belum diterapkan. “Kalau aturan tentang sampah saya terapkan, penjara pasti akan penuh. Untuk itu, saat ini yang paling penting adalah mengubah budaya masyarakat terlebih dahulu,” katanya.
Kehilangan jiwa sungai
Budayawan Palembang Yudi Syarofi mengatakan, jika dihitung ulang, jumlah anak Sungai Musi di Palembang hanya tinggal 35 sungai. “Sekarang orang Palembang telah kehilangan jiwa sungainya,” ujar Yudi. Hal ini terlihat dari posisi rumah yang sudah membelakangi sungai dan juga terus dibangunnya perumahan dengan menimbun lahan rawa.
Perubahan budaya ini mulai terjadi saat masa kolonial Belanda yang masuk ke Palembang pada tahun 1821. Saat itu, pemerintah Belanda menganggap orang Palembang sangat primitif karena tidak memiliki pasar. Padahal saat itu, warga sudah memiliki pasar di Muara Sungai Ogan, pertemuan Sungai Lematang, Sungai Ogan, dan Sungai Komering.
Akhirnya pada tahun 1822 dibangun pasar ikan yang sekarang dikenal dengan Pasar Sekanak Palembang. Dari sanalah pembangunan berkonsep darat dimulai.
Hal ini berlanjut hingga Indonesia merdeka. Pembangunan paling masif terjadi setelah tahun 1970, lima tahun setelah Jembatan Ampera diresmikan. “Mulai saat itu, perumahan tidak lagi menghadap sungai tetapi menghadap ke jalan,” katanya.
Selain sungai, kawasan rawa pun terkubur karena ditimbun untuk pembangunan perumahan. Termasuk kawasan Jakabaring Palembang yang dulu ada kawasan rawa, hulu dari anak sungai. Jika hal ini diteruskan, maka keberadaan anak Sungai Musi akan hilang. “Karena itu, pemerintah harus tegas dalam mengeluarkan izin terutama yang bersentuhan dengan kawasan sungai,” kata Yudi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri menerangkan Kota Palembang memiliki luas lahan sekitar 35.855 hektar yang sebagian besar adalah lahan rawa. Namun, karena berbagai kebutuhan dan kepentingan, saat ini lahan rawa di Palembang hanya menyisakan 2.372 hektar. Hal ini diperparah dengan tidak optimalnya drainase, termasuk keberadaan kolam retensi yang jauh dari kata memadai.
Jumlah kolam retensi di Palembang hanya 27 kolam, jauh dari jumlah ideal, yakni 77 kolam. Ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Palembang hanya 3.645 hektar, jauh dari luasan RTH ideal, yakni seluas 10.756 hektar. Sesuai ketentuan, luas ruang terbuka hijau minimalnya sebesar 30 persen dari luas wilayah kota. ”Jika hal ini dibiarkan, pendistribusian air akan terganggu,” ucapnya.
Sudah saatnya pemerintah kembali memerhatikan aspek-aspek lingkungan perkotaan, seperti perluasan RTH, memulihkan serta menjaga area rawa yang tersisa. Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki sistem drainase, dan memastikan fungsi kolam retensi berjalan dengan baik.
Pemerintah harus memastikan tidak ada lagi proses pembangunan yang dilakukan tanpa ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan . ”Jangan sampai proses dokumen lingkungan hidup terkadang hanya bersifat formalitas semata,” ujarnya.