JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berharap Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang digulirkan Pemerintah China dapat berjalan secara evaluatif, transparan, dan berkesinambungan. Bagi Indonesia, megaproyek BRI juga diharapkan lebih memperkuat hubungan saling menguntungkan di antara kedua negara.
”Konferensi Tingkat Tinggi BRI selanjutnya kita harapkan akan sampai pada saling belajar dari kesalahan, tekad untuk memperbaiki, sehingga evaluatif sifatnya. Diharapkan selanjutnya lebih transparan, lebih profesional,” kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong pada acara bertajuk ”Standard Chartered CEO Connect: Connecting Indonesia and China through the Belt and Road Initiative” di Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Lembong mengungkapkan pertanyaan bernada gugatan tentang apakah BRI bakal menemui masalah atau tantangan khusus saat-saat ini. Hal itu terutama dikaitkan dengan seberapa kuat posisi China dari sisi ekonomi dapat menopang tekanan pertumbuhan ekonomi global yang melemah. Saat bersamaan, perang dagang China-Amerika Serikat dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa diproyeksikan bisa memengaruhi ekonomi China.
BRI diluncurkan Pemerintah China tahun 2013 untuk menghidupkan kembali jalur sutra emas melalui pembangunan infrastruktur dan investasi dengan melibatkan negara-negara dan organisasi- organisasi internasional di Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin.
Indonesia masuk dalam jangkauan BRI melalui proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Dengan pendekatan geografis, Indonesia juga menawarkan Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Provinsi Bali. ”Kami (Indonesia) sangat membutuhkan pertumbuhan ekonomi, antara lain karena terkait langsung dengan penyediaan lapangan dan kesempatan kerja,” kata Lembong.
Mantan menteri perdagangan serta menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, Mari Elka Pangestu, pembicara lain dalam seminar itu, menegaskan pentingnya mencapai kesinambungan proyek, raihan kondisi saling menguntungkan bagi China dan negara mitra, seperti Indonesia, khususnya wilayah yang menjadi prioritas. Harapannya, proyek itu benar-benar berguna dan mengembangkan wilayah dan negara mitra yang dituju.
Mari mengamati, sejak BRI digulirkan lebih dari 5 tahun lalu, tantangan bagi BRI adalah kualitas dan standar, transparansi, kebebasan dari utang yang harus ditanggung negara mitra, sifat inklusif sekaligus keseimbangan dari proyek-proyek itu.
Soal isu utang
Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian mengakui secara tidak langsung adanya aneka pertanyaan bernada gugatan atas BRI. Salah satu gugatan itu, misalnya, BRI membuat negara mitra menderita akibat jerat utang.
Menurut Xiao, hal itu tidak benar karena Beijing melakukan pendekatan dengan orientasi ekonomi secara cermat. Beijing bertekad menghindari aneka risiko dalam prakarsa itu, termasuk di dalamnya adalah risiko utang.
”Menghindari risiko itu sama-sama penting bagi China ataupun negara yang dituju. Maka dari itulah, kami juga memandang penting kondisi transparan, bersahabat, tidak diskriminatif dan prospektif dari segi pendanaannya sekaligus ramah lingkungan,” kata Xian.
Chief Executive Office Standard Chartered Bank Indonesia Rino Donosepoetro menyatakan, BRI memiliki potensi mentransformasi ekonomi negara-negara yang termasuk dalam rute itu. Pada tahun 2014-2016, misalnya, perdagangan antara China dan negara-negara di sepanjang jalur sabuk dan jalan itu melebihi 3 triliun dollar AS.
Inisiatif itu juga telah mendorong arus investasi asing langsung dari China ke negara-negara yang termasuk dalam rute sabuk dan jalan itu hingga 129,4 miliar dollar AS pada 2016; naik 12 persen secara tahunan. Sepanjang 2017, Standar Chartered Bank terlibat lebih dari 50 komitmen terkait BRI senilai lebih dari 10 miliar dollar AS. (BEN)