JAKARTA, KOMPAS – Uji Kompetensi untuk para lulusan perguruan tinggi kesehatan dinilai tidak sesuai amanat Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Undangan Tenaga Kesehatan karena dilaksanakan panitia nasional. Oleh karena itu, Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan menghadap DPR RI memohon agar pelaksanaan uji kompetensi dikembalikan kepada perguruan tinggi karena dinilai sesuai aturan otonomi lembaga pendidikan tinggi.
“Sejak tahun 2014 uji kompetensi para tenaga kesehatan dilakukan oleh panitia nasional yang terdiri dari perwakilan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, dan organisasi profesi. Perguruan tinggi kesehatan (PT Kes) tidak dilibatkan,” kata Sekretaris Umum Himpunan PT Kes Gunarmi ketika melakukan aksi damai di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (18/3/2019).
Tenaga kesehatan adalah orang-orang yang bekerja di bidang medis kecuali dokter dan apoteker. Mereka yang termasuk dalam tenaga kesehatan antara lain adalah perawat, ners, dan bidan. Pasal 21 Undang-Undang 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan mengatakan bahwa uji kompetensi harus diselenggarakan oleh perguruan tinggi terkait, organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi terakreditasi.
Berdasarkan pasal itu, lanjut Gunarmi, HPT Kes meminta agar kewenangan pelaksanaan uji kompetensi dikembalikan kepada tiap-tiap PT Kes sesuai dengan otonominya. Menurut dia, setiap PT Kes menjalin kerja sama dengan organisasi profesi kesehatan dan lembaga sertifikasi kompetensi sehingga ada standar operasional prosedur untuk memastikan uji kompetensi berjalan adil. Terdapat 1.500 PT Kes yang tersebar di 22 provinsi. Setiap PT Kes memiliki empat hingga 12 program studi (prodi).
Ia mengeluhkan uji kompetensi nasional memakai sistem berbasis komputer sehingga yang ditanyakan hanya dari segi pengetahuan peserta. Aspek sikap dan keterampilan bekerja tidak diuji. Apabila ujian dilakukan oleh PT Kes, akan lebih mudah menyellenggarakannya dalam bentuk praktik melalui kerja sama dengan fasilitas kesehatan.
Jadwal ujian
Kepala Bidang Akreditasi HPT Kes Fery Mendrova menjelaskan, ujian kompetensi nasional diadakan dua kali dalam satu tahun. Umumnya waktu penyelenggaraannya sebelum jadwal wisuda PT. Akibatnya, para lulusan PT Kes yang belum mengikuti uji kompetensi harus menunggu beberapa bulan, bahkan hingga satu tahun. Selama waktu menunggu itu mereka tidak boleh bekerja di bidang pelayanan kesehatan sehingga banyak yang menganggur.
Jika uji kompetensi dilakukan tiap PT Kes, waktu pengadaannya lebih fleksibel, misalnya diadakan setelah pelaksanaan wisuda. Di samping itu, para alumnus yang tidak lulus di uji kompetensi memiliki kesempatan untuk mengambil ujian ulang tanpa harus menunggu lama.
Selain itu, dari segi biaya semestinya juga lebih murah. Saat ini, setiap peserta ujian harus membayar Rp 225.000 untuk uji kompetensi bagi lulusan D3 dan Rp 275.000 bagi lulusan D4 ataupun S1. Apabila gagal dan harus mengikuti ujian ulang, peserta diwajibkan membayar biaya lagi.
Sesuai UU
Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Penjaminan Mutu Kemristek dan Dikti Aris Junaidi mengutarakan bahwa pelaksanaan uji kompetensi melalui panitia nasional sesuai dengan amanat UU Tenaga Kesehatan dan UU Pendidikan Tinggi.
“Kemristek dan Dikti bertindak sebagai penyelenggara. Akan tetapi, pengujinya adalah dari organisasi profesi, Kementerian Kesehatan selaku pengguna jasa tenaga kesehatan, dan perguruan tinggi. Untuk PT Kes di dalam panitia nasional tentunya yang sudah mumpuni,” ujarnya.
Kemristek dan Dikti bertindak sebagai penyelenggara. Akan tetapi, pengujinya adalah dari organisasi profesi, Kementerian Kesehatan selaku pengguna jasa tenaga kesehatan, dan perguruan tinggi.
Ia menerangkan tingginya kesenjangan mutu di PT Kes. Sebagai contoh, di bidang kebidanan, dari 800 prodi hanya tiga yang terakreditasi A. Jika ujian diserahkan kepada PT-PT kesehatan dengan mutu yang tidak seragam, proses ujian, pengawasan, dan evaluasinya dikhawatirkan tidak sesuai standar.
Proses ujian berbasis komputer karena belum memungkinkan untuk melaksanakan ujian praktik dengan peserta puluhan ribu orang. Soal-soal terkait metodologi kerja dan penilaian mental sudah dimasukkan ke dalam rangkaian soal ujian. Dari ujian berbasis komputer itu, setiap tahun hanya 45 persen tenaga kesehatan yang lulus. Tercatat ada 357.000 peserta uji kompetensi yang tidak lulus sejak tahun 2014. Mayoritas berasal dari PT dan prodi berakreditasi C.
“Rencananya, akan ada pembinaan terhadap PT Kes dengan akreditasi C. Hal yang sama dilakukan oleh fakultas-fakultas kedokteran. Misalnya, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Indonesia membina PT yang bermasalah,” ucap Aris.
Terkait biaya ujian, ia mengakui untuk transportasi dan akomodasi panitia ujian memang membutuhkan dana. Akan tetapi, untuk uji percobaan (try out) yang diselenggarakan oleh panitia nasional tidak dipungut biaya, berbeda dengan yang diselenggarakan oleh lembaga swasta.