Bahaya Kebakaran Terus Bayangi Ibu Kota
JAKARTA, KOMPAS – Kebakaran masih terus melanda kawasan padat Jakarta, kendati beragam upaya pencegahan telah dilakukan petugas Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta. Selain warga, para petugas pemadam pun turut jadi korban dalam upaya pemadaman.
Guna mencegah jatuhnya korban kembali, pencegahan harus dilakukan lebih mendasar, yaitu dari ketegasan tata ruang hingga pembuatan rencana induk sistem proteksi kebakaran. Hingga saat ini, DKI Jakarta yang rawan kebakaran itu belum mempunyai rencana induk sistem proteksi kebakaran.
Sepanjang 2018, terdata 1.751 kebakaran di DKI Jakarta atau rata-rata 4-5 kali kebakaran di Jakarta. Sebanyak 24 orang tewas dalam kebakaran selama 2018 itu, terdiri dari 23 warga dan satu petugas. Adapun korban luka-luka 11 petugas dan 99 warga. Kerugian akibat kebakaran 2018 ditaksir Rp 238,94 miliar. Ribuan jiwa kehilangan tempat tinggal dalam peristiwa kebakaran.
Adapun Januari-17 Maret, terjadi 332 kebakaran dengan enam korban warga tewas dengan korban luka-luka 6 petugas dan 32 warga. Kerugian ditaksir Rp 75,7 miliar. Tiga faktor yang diduga menjadi penyebab utama kebakaran itu terdiri dari hubungan pendek arus listrik, pembakaran sampah sembarangan, dan gas.
Kebakaran di Krukut, Tamansari, Jakarta Barat, Minggu (17/3/2019), juga diduga dipicu oleh korsleting listrik. Sebanyak 500 keluarga atau sekitar 1.500 jiwa kehilangan tempat tinggal akibat kebakaran itu. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta yang mengerahkan 25 pemadam berjibaku selama berjam-jam memadamkan kebakaran.
Guru Besar Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan Prof Manlian Ronald A Simanjutak mengatakan, pencegahan kebakaran di kawasan padat di DKI Jakarta mempunyai masalah khusus yang berbeda dari negara lain, yaitu budaya warga yang belum sadar berperilaku mencegah kebakaran.
”Jadi sebaik apa pun upaya sosialisasi atau pembangunan infrastruktur pemadam, tanpa ketegasan ini tak akan efektif. Harus ada ketegasan tata ruang dan harus segera diwujudkan dalam rencana induk sistem proteksi kebakaran,” katanya di Jakarta, Senin (18/3/2019).
DKI Jakarta memang mempunyai Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 143 Tahun 2016 tentang manajemen keselamatan dan manajemen keselamatan kebakaran lingkungan. Namun, kenyataannya aturan-aturan ini belum efektif untuk meredam kebakaran di kawasan padat.
Berbasis manusia
Pencegahan kebakaran di kawasan padat sangat berbeda dengan gedung tinggi. Untuk kawasan padat, pencegahan kebakaran seharusnya berbasis manusia. Artinya, faktor pertama terpenting adalah perilaku warga yang sadar mencegah kebakaran terlebih dahulu.
”Setelahnya proteksi pasif, yaitu tata ruang yang berorientasi pencegahan kebakaran dan baru proteksi aktif, yaitu kelengkapan alat pemadam kebakaran,” katanya.
Untuk mengatasi budaya warga yang belum sadar mencegah kebakaran itu, kata Manlian, diperlukan ketegasan pemerintah dalam menata tata ruang di kawasan padat.
Tata ruang ini harus berorientasi pada pencegahan kebakaran meluas, di desain gedung tahan api, hingga mengatur jarak atau pembatas antarbangunan yang tahan jilatan api hingga tiga jam.
”Apabila dinding sudah terlalu rapat, seharusnya ada ketegasan harus dibuat dinding yang tahan jilatan api setidaknya selama dua jam, seperti tembok begitu,” katanya.
Manlian mengatakan, Jakarta harus segera mewujudkan rencana induk sistem proteksi kebakaran. Rencana itu akan mengatur tata ruang, jumlah pos kebakaran, dan mobil pemadam ideal hingga membentuk kelompok warga yang mampu melakukan pemadaman.
56 titik
Kepala Seksi Ketahanan Bidang Partisipasi Masyarakat Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta Syaifulloh mengatakan, terdapat 56 kawasan padat yang rawan kebakaran di DKI Jakarta.
Kawasan-kawasan itu, di antaranya, Johar Baru, Tanah Abang, Tambora, Tamansari, Grogol Petamburan, Tebet, Pasar Minggu, Palmerah, Kebayoran Baru, Pancoran, Pulo Gadung, Cipayung, Kramatjati, dan Kampung Makassar.
Setidaknya dua tahun terakhir, beragam upaya pencegahan telah banyak dilakukan di kawasan-kawasan padat itu. Salah satunya adalah sosialisasi pencegahan kebakaran di tingkat RW. Tahun 2018, sosialisasi dilakukan di 532 di tingkat RW. Tahun 2019, direncanakan setidaknya di 308 RW.
Selain itu, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta juga melakukan inspeksi instalasi listrik dan gas ke rumah-rumah warga.
”Banyak temuan penggunaan peralatan yang tidak standar, menggunakan steker yang bertumpuk-tumpuk, hingga warga yang mengubah MCB (miniature circuit breaker). Ini yang banyak memicu korsleting yang akhirnya kebakaran,” katanya.
Selain sosialisasi, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta juga memasang infrastruktur dan peralatan pemadam kebakaran. Seperti hidran kering hingga hidran mandiri. Hidran mandiri dipasang di lima lokasi di 2018 dan 12 titik.
Hidran mandiri atau hidran yang dipasang di dalam gang-gang tersambung ke sumber air di kawasan padat yang bisa dioperasikan oleh warga sendiri. ”Salah satu kendala pemadaman di kawasan padat adalah mobil pemadam yang sulit masuk. Dengan hidran mandiri ini, warga yang sudah kami latih bisa memadamkan sendiri sebelum mobil pemadam bisa masuk,” katanya.
Salah satu kawasan yang menjadi prioritas adalah Tambora. Sebelum 2012, Tambora merupakan kawasan paling rentan kebakaran. Hampir setiap hari terjadi kebakaran di sana. Sejak 2012, dilakukan sosialisasi di semua RW. Di sana juga sudah dipasang hidran kering atau saluran pipa yang nantinya bisa disambung dengan tanki air untuk pemadaman.
Saat ini, tiap RT di Tambora juga telah dilengkapi dengan dua alat pemadam api ringan (APAR) dan alat pemadam api beroda (APAB) di tingkat kelurahan serta selimut api.
Syaifulloh mengatakan, kendati sudah banyak usaha, pencegahan ini memang masih terus terkendala perilaku warga yang belum sadar mencegah kebakaran dan tak merawat peralatan pemadam.