ABU DHABI, KOMPAS — Riswida Wijayanto (18) tidak menyangka bisa tampil mewakili Indonesia pada ajang Olimpiade Khusus 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Apalagi sampai bisa meraih medali emas dari cabang bulu tangkis nomor tunggal putra, Senin (18/3/2019). Ia pun langsung teringat sosok sang ayah yang berada di balik keberhasilannya itu.
Widayanto, ayah Riswida, adalah seorang buruh bangunan dan pemain bulu tangkis amatir. Namun, Widayanto tidak hanya mengenalkan teknik bermain bulu tangkis kepada anaknya, tetapi juga mengajarkan prinsip-prinsip sportivitas. Dengan telaten, ia juga berusaha menyediakan segala peralatan yang diperlukan anaknya.
Semua itu berawal ketika Riswida masih berusia 9 tahun. Saat itu ia melihat ayahnya sedang bermain di lapangan yang tidak jauh dari rumah mereka di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Menurut Riswida, orang yang menjadi lawan ayahnya itu kurang bisa menghargai lawan mainnya. Riswida menyebutnya arogan.
”Bapak saya terus berpesan agar saya, kalau jadi pemain bulu tangkis, jangan seperti si lawan itu,” ujar Riswida.
Sejak saat itu Riswida semakin suka berlatih. Siswa kelas 3 SMP Luar Biasa Bhakti Siwi di Sleman itu juga semakin serius dengan bergabung bersama klub bulu tangkis. Melihat keseriusan itu, Widayanto berusaha memenuhi kebutuhan anaknya meski seadanya. ”Bapak selalu beliin susu, senar raket putus langsung diperbaiki, raket saya patah langsung dibelikan yang baru walaupun seken,” kata Riswida.
Dukungan penuh orangtua membuat kemampuan Riswida semakin matang dan ia kerap mengikuti kejuaraan. Pada 2018, ia mengikuti Pekan Olahraga Nasional (Pornas) Special Olympics di Riau. Pada laga final ganda campuran, Riswida bertemu pebulu tangkis putri Jennika yang kini juga tampil di Abu Dhabi. Jennika dan pasangannya, waktu itu berhasil mengalahkan Riswida dan pasangannya.
Pada Februari 2019, keduanya mengikuti pemusatan latihan untuk Olimpiade Khusus dan semakin akrab. Indonesia hanya mengirimkan kedua atlet itu untuk berlaga di cabang bulu tangkis.
Pada ajang Olimpiade Khusus ini, Riswida dan Jennika masuk di divisi satu atau divisi yang dihuni para atlet dengan tingkat disabilitas intelektual terendah. Mereka berdua bisa mengalahkan ketiga lawannya di grup masing-masing.
Pada laga Senin kemarin, Riswida berhadapan dengan atlet Nigeria, Dew Anthony Sylvanus. Laga berlangsung ketat dan Risiwda sempat jatuh bangun untuk mengembalikan kok. Namun, Riswida tetap bisa tenang dan menang 21-14, 21-15. Seperti yang diajarkan oleh Widayanto, Riswida tetap tampil rendah hati. Ketika sudah menang, ia menangkupkan kedua telapak tangannya ke arah Sylvanus, dan kemudian menyalaminya.
Widayanto tidak bisa melihat langsung aksi putranya tersebut. ”Saya yakin Bapak bangga. Pesan-pesan Bapak sudah saya lakukan. Saya tidak meremehkan lawan dan saya tidak lagi jadi pemalu,” kata Riswida.
Emas kedua
Sama halnya dengan Riswida, atlet bulu tangkis putri Jennika juga bisa meraih emas pada Olimpiade Khusus berkat dukungan kedua orangtuanya. Senin kemarin, Jennika meraih medali emas tunggal putri setelah mengalahkan lawan ketiganya, Katarzina Janicka asal Polandia, 21-13, 21-14.
Saya bangga bisa mewakili Indonesia.
Berbeda dengan Riswida, ayah Jennika, Alex merupakan mantan atlet bulu tangkis Riau. Jennika mengaku digembleng ayahnya sejak masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar.
Hasilnya, prestasi Jennika sudah sangat menonjol di dalam negeri dan terakhir meraih medali emas setelah mengalahkan Riswida di nomor ganda campuran Pornas Riau 2018. Bagi Jennika, bulu tangkis sudah menjadi jalan hidupnya. ”Saya bangga bisa mewakili Indonesia. Dari kemarin juga banyak atlet-atlet dari negara lain yang minta foto bareng,” katanya.
Selain bermain di nomor tunggal, Jennika dan Riswida juga tampil di nomor ganda campuran. Pada laga pertama di nomor tersebut, Senin sore kemarin, Jennika/Riswida mengalahkan pasangan Denmark, Charlie Hermanssen/Pernille Hermanssen, 21-7, 21-9. Mereka masih akan menghadapi dua lawan lagi dari Hongaria dan Polandia.
Direktur Nasional Special Olympics Indonesia Marianne Samosir mengatakan, Riswida dan Jennika merupakan contoh betapa vital peran orangtua dalam membuka masa depan anak-anak penyandang disabilitas intelektual. ”Ketika orangtua sudah memberi dukungan, pemerintah daerah juga perlu meresponsnya dengan baik, karena banyak dari anak-anak ini berasal dari kalangan tidak mampu,” katanya.