Akses menuju kawasan hutan memiliki korelasi kuat dengan tingkat deforestasi. Semakin mudah akses menuju kawasan hutan, semakin tinggi tingkat deforestasi di hutan itu. Hal itu sudah terjadi di Hutan Harapan, Jambi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Akses menuju kawasan hutan memiliki korelasi kuat dengan tingkat deforestasi. Semakin mudah akses menuju kawasan hutan, semakin tinggi tingkat deforestasi di hutan itu.
Hal itu telah terjadi di Hutan Harapan, salah satu sasaran perambah untuk mendapatkan kayu alam. Karena itu, pembangunan akses di dalam kawasan hutan perlu dibatalkan karena dapat mengancam ekosistem di kawasan hutan tersebut.
Direktur Operasional PT Restorasi Ekosistem Adam Aziz kepada wartawan di Palembang, Selasa (19/3/2019), mengatakan, keterbukaan akses memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat deforestasi. Dari hasil pengamatan, kawasan yang mengalami deforestasi di Hutan Harapan adalah kawasan yang memiliki akses darat menuju ke hutan.
Saat ini, dari total 98.555 hektar kawasan Hutan Harapan, tingkat deforestasi mencapai 20.000 hektar. Sekitar 18.000 hektar deforestasi terjadi di Provinsi Jambi dan sisanya ada di Sumatera Selatan.
Adam menegaskan, 10.000 hektar deforestasi terjadi sebelum PT Restorasi Ekosistem diberi izin kelola pada 2009. Adapun 10.000 hektar deforestasi terjadi saat kebakaran lahan tahun 2015. ”Deforestasi akibat penebangan liar terbilang masih sedikit,” katanya.
Adam menambahkan, tingginya kasus deforestasi di Jambi disebabkan adanya akses menuju hutan yang mempermudah para pembalak masuk ke kawasan hutan. Di kawasan Hutan Harapan, ujar Adam, memang ada beberapa kelompok masyarakat yang tinggi di sana, yakni masyarakat Batin Sembilan dan masyarakat Melayu. Namun, keberadaan mereka tidak mengakibatkan deforestasi lantaran pengelolaan hutan yang mereka lakukan berdasarkan kearifan lokal. ”Mereka memanfaatkan hasil hutan bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” kata Adam.
Adapun penebangan liar dilakukan masyarakat pendatang yang ingin mendapatkan kayu. Mereka biasanya masuk melalui jalur sungai dan darat.
Penebangan liar dilakukan oleh masyarakat pendatang yang ingin mendapatkan kayu. (Adam Aziz)
Manager Pengamanan dan Perlindungan Hutan Harapan TP Damanik menjabarkan, transportasi kayu melalui jalur sungai biasanya masuk dari Sungai Meranti atau Sungai Kapas yang kemudian bertemu di Sungai Batanghari Leko, Musi Banyuasin. Dari sana kayu dikumpulkan dan kemudian dibawa menggunakan truk ke sawmill terdekat.
Kawasan yang dirambah biasanya tidak jauh dari sungai, yakni sekitar 500 meter dari sisi kanan dan kiri sungai. ”Karena untuk mengangkat kayu bukanlah hal yang mudah,” katanya.
Adapun distribusi kayu lewat darat hanya ada di kawasan Jambi yang memiliki beberapa titik masuk. ”Karena itu, penjagaan di sejumlah pintu masuk kami perketat untuk mengurangi pembalak liar masuk ke kawasan hutan,” kata Damanik.
Jalan tambang
Adam mengemukakan, saat akses masuk ke kawasan hutan masih sulit, perambahan hutan terus berlangsung. Apalagi, ada usulan pembangunan jalan tambang yang menurut rencana akan masuk ke kawasan Hutan Harapan.
Usulan itu terjadi pada 2013. Usulan dilakukan oleh sebuah perusahaan tambang batubara yang memiliki lahan tambang di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, sepanjang 88 km. Jalan itu melewati dua provinsi, yakni Jambi dan Sumatera Selatan. Dari panjang jalan itu, sekitar 31,8 kilometer di antaranya masuk di kawasan Hutan Harapan.
Ketika jalan tambang itu masuk ke kawasan hutan, akses para perambah untuk masuk ke kawasan hutan akan semakin besar. Risiko deforestasi terutama pembalakan liar akan semakin tinggi.
”Kayu alam akan lebih mudah keluar dari kawasan hutan. Hal ini akan mengancam keanekaragaman hayati di dalam hutan,” katanya.
Keberadaan jalur tambang itu juga akan memotong jalur jelajah harimau sumatera dan gajah sumatera yang biasa melewati jalur tersebut. Karena itu, dirinya berharap agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak memberikan izin pembangunan jalan tambang masuk ke kawasan Hutan Harapan.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Meranti Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Wan Kamil mengatakan, untuk meningkatkan pengamanan kawasan hutan, dibutuhkan keterlibatan semua pihak. Kamil mengatakan, dari total luas KPH Wilayah I Meranti yang mencapai 244.000 hektar, sekitar 185.000 hektar telah dikelola oleh enam perusahaan. ”Perusahaan yang bertanggung jawab untuk menjaga hutan,” katanya.
Sisanya dikelola masyarakat. Untuk area yang tidak dibebani izin, biasanya sudah dikelola masyarakat, tetapi tidak optimal. Karena itu, lanjut Kamil, pihaknya tengah mendorong untuk mendapatkan legalitas sehingga pengelolaannya bisa lebih optimal.