JAKARTA, KOMPAS — Mengingat dan mempelajari kembali sejarah kejayaan jalur rempah menjadi elemen penting dalam memajukan budaya maritim Indonesia. Terlebih Indonesia ingin kembali menjadi poros maritim dunia. Dalam mencapainya, selain pembangunan infrastruktur, juga diperlukan penguatan literasi untuk belajar dari kegemilangan serta kegagalan masa lalu.
Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi Tukul Rameyo Adi di Jakarta, Selasa (19/3/2019), mengatakan, pemerintah sedang menggalakkan kembali pembangunan berbasis kelautan. Kondisi saat ini menjadi momen yang tepat dalam mengembalikan identitas Indonesia sebagai bangsa pelaut.
”Untuk menegakkan pilar budaya bahari harus dimulai dengan merajut kembali literasi yang berkaitan dengan pengetahuan tradisi masa lalu. Jalur rempah tidak hanya menyimpan kisah fenomenal dan romantisisme masa lalu, tetapi juga meninggalkan jejak warisan budaya maritim Nusantara,” kata Tukul di sela-sela pembukaan Forum Internasional Jalur Rempah 2019 yang diadakan Yayasan Negeri Rempah.
Tukul mengatakan, Nusantara dengan komoditas rempah sejak ribuan tahun lalu telah menjadi poros maritim yang menghubungkan China, India, Timur Tengah, dan Eropa. Bangsa Nusantara dikenal tangguh dalam mengarungi lautan dalam perdagangan dunia. Sejarah itu mestinya menjadi pijakan dalam membangun kembali tradisi itu.
Tanpa rempah-rempah, tidak akan ada negara Indonesia. Meskipun karena rempah pula Indonesia terpaksa dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa yang memburu dan memonopoli perdagangannya.
Menurut Tukul, dalam konteks saat ini, sejarah jalur rempah yang menjadi jejak perniagaan global itu penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali. Apalagi, beberapa negara tengah menggulirkan kembali pertarungan konsep, seperti jalur sutra maritim oleh China. Hal itu menuntut Indonesia mengambil peran penting.
Indonesia sudah saatnya mengambil inisiatif untuk membuka kembali ruang dialog lintas batas dan lintas budaya dengan meninjau kembali jejak kemaritiman melalui narasi jalur rempah, yang di dalamnya menyimpan pusaka alam dan pusaka budaya warisan bersama, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga regional.
”Yang tidak kalah penting saat ini, mendorong literasi dan budaya maritim yang saat ini sebagian sudah terputus. Tanpa penguatan literasi dan budaya, usaha kita akan berat,” ujar Tukul.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah Hassan Wirajuda mengatakan, untuk memajukan konsep Indonesia menjadi poros maritim dunia, memajukan kembali budaya maritim menjadi elemen penting. Salah satu caranya, menengok kembali sejarah masa lalu budaya kemaritiman Nusantara.
Menurut Hassan, Indonesia punya sejarah panjang dalam kemaritiman, baik kegemilangan maupun malapetaka. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia, terutama dalam memasok rempah-rempah. Namun, kekayaan itu kemudian juga menjadi malapetaka dengan dimulainya penjajahan oleh bangsa Eropa yang hendak menguasai perdagangan rempah-rempah.
”Dunia modern perlu diingatkan pada sejarah masa lalu kita, sebagian gemilang dan sebagian gelap,” katanya.
Ketua panitia Forum Internasional Jalur Rempah 2019 yang juga pendiri Yayasan Negeri Rempah, Bram Kushardjanto, mengatakan, rempah-rempah memiliki peran penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tanpa rempah-rempah, tidak akan ada negara Indonesia. Meskipun karena rempah-rempah pula Indonesia terpaksa dijajah bangsa-bangsa Eropa yang memburu dan memonopoli perdagangannya. (YOLA SASTRA)