Trengginas di Segala Zaman
Di umur 62 tahun, PT Astra International Tbk adalah perusahaan kuat dan mapan, namun tetap lincah beradaptasi dengan industri digital yang bergerak cepat. Fondasi yang kuat dan nilai-nilai luhur dalam Catur Dharma membuat perusahaan percaya diri.
Menurut Presiden Direktur Grup Astra, Prijono Sugiarto, perusahaan yang adaptif, trengginas, dan inovatif akan mampu menghadapi tantangan.
Ia lantas mengenang krisis ekonomi 1998, yang membuat Astra -dengan utang saat itu sebesar 14 kali ekuitas- sangat terpukul. Namun, fondasi yang kuat membuat Astra bisa menata kinerja kembali. Bahkan, semakin kuat, sehingga pada 2018 membukukan laba bersih Rp 21,673 triliun.
Berikut ini petikan perbincangan Kompas dengan Prijono, pimpinan grup usaha yang memiliki 226.140 karyawan, di lantai 63 Menara Astra, Jakarta, pekan lalu.
Perekonomian dunia 2019 diperkirakan tak sebaik 2018. Indonesia optimistis tumbuh 5,3 persen pada tahun ini. Perkiraan Astra?
Saat saya di Forum Ekonomi Dunia (WEF), Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasioal (IMF) Christine Lagarde menyampaikan, ekonomi tahun ini suram. Saya harus katakan, kalau dari prediksi bank dunia dan IMF, tidak ada prediksi yang mengatakan 2019 lebih baik dari 2018. IMF memperkirakan tahun ini pertumbuhan ekonomi dunia 3,5 persen. Yang lebih signifikan, Amerika Serikat hanya akan tumbuh 2,5 persen. China diprediksi hanya 6,2 persen. Hal ini adalah pernyataan yang kadang-kadang harus disiasati. Sebab Indonesia, sama seperti negeri lain, kita bisa bilang resilien. Akan tetapi, tidak ada satu pun negara yang imun. Kalau dulu peristiwa (kejatuhan) Lehman Brothers (yang memicu krisis keuangan 2008), Indonesia juga kena dampaknya.
Hal ini harus disiasati. Tetapi, there is always light at the end of the tunnel. Tidak ada sesuatu yang negatif terus. Ambil contoh, otomotif. Kalau buat saya, tahun lalu tumbuh 7 persen secara pasar, yang saya lihat datar, mestinya lebih baik. Kenapa begitu? Karena produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia 4.000 dollar AS. Nomor 2, penetrasi hanya 87 (mobil) tiap 1.000 penduduk, kecil sekali. Thailand hampir 200 dari 1.000. Negara maju malah 600 dari 1.000 atau malah 700 dari 1.000.
Kalau lihat Indonesia, tahun lalu tumbuh 5,17 persen. Lebih baik dari 2017 yang 5,07 persen. Apakah bisa tumbuh 5,3 persen atau tidak, sangat dipengaruhi kondisi dunia. Perang dagang akan memengaruhi sawit dan batubara, masing-masing 2 persen PDB. Nilai masing-masing sekitar 20 miliar dollar AS. Kalau terganggu, sangat memengaruhi transaksi berjalan, yang pada akhir tahun lalu hampir 3 persen PDB.
Yang bisa mengganggu, perang dagang yang tidak selesai-selesai. Defisit perdagangan AS terhadap China 400 miliar dollar AS. Trump berusaha agar ini terselesaikan. Brexit juga tidak kelar-kelar. Dikatakan Toyota, mereka akan tarik dari Inggris kalau tidak kunjung selesai. Yang ketiga, tekanan India dan Pakistan. India adalah importir sawit dan batubara terbesar dari Indonesia. Lalu suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed. Apakah berkelanjutan atau tidak, sekarang di posisi 2,5 persen. Suku bunga acuan di Indonesia sekarang 6 persen, masih tenang. Akan tetapi kalau The Fed naik, apakah Indonesia akan tetap 6 persen? Mau tidak mau BI menaikkan (suku bunga acuan) karena ada kemungkinan modal asing keluar dari Indonesia.
Ini sangat tergantung dari banyak hal. Indonesia tidak imun. Konsumsi Indonesia adalah salah satu yang terbesar di antara negara-negara berkembang, yakni 55 persen PDB. Mudah-mudahan pada 2019 konsumsi dan investasi bertambah. Kalau melihat indikator ekonomi, inflasi yang terjadi di 3-an persen, hebat buat negara seperti Indonesia. Cadangan devisa masih di 120-an miliar dollar AS.
Masih ada harapan perekonomian tahun ini tumbuh 5,3 persen. Kalau tahun kemarin 5,17 persen, ya dibulatkan 5,2 persen. Pertumbuhan 5,3 persen bukan sesuatu yang aneh, memungkinkan dengan catatan konsumsi domestik dan investasi kuat.
Yang paling penting, pertumbuhan ekonomi, konsumsi luar dan investasi masuk. Investasi yang masuk bukan cuma portofolio yang sewaktu-waktu akan keluar lagi. Dengan nilai tukar di kisaran Rp 14.000-Rp 14.500 per dollar AS, pemain bisnis seperti Astra akan lebih tenang. Jangan melompat-lompat ke Rp 15.000 atau Rp 15.500 per dollar AS. Ada bisnis Astra yang diuntungkan, tetapi divisi manufaktur bingung dengan gejolak dollar AS terhadap rupiah.
Peluang apa yang bisa dimanfaatkan?
Pada 2018, Indonesia bisa tumbuh 5,17 persen. Hasilnya menarik sekali. Pendapatan kami tumbuh 16 persen, laba bersih tumbuh 15 persen. Namun, otomotif tumbuh 5-7 persen dengan penetrasi mobil 87-90 unit per 1.000 orang itu masih kecil. Saya pernah berhitung, pada saat PDB per kapita China 4.000 dollar AS, pasarnya 13 juta unit mobil. Sama-sama 4.000 dollar AS dengan kita, jumlah penduduk seperlima, seharusnya di Indonesia seperlima dari China. Masalahnya ada pada distribusi atau rasio gini rasio.
Secara teori, 2,5 juta yang terjual. Ternyata hanya 1,15 juta. Berarti ada potensi. Saya melihat, kalau PDB per kapita naik ke 4.500 dollar AS atau 5.000 dollar AS, tidak mustahil otomotif akan menjadi 2 juta unit.
Kalau anda lihat, kapasitas terpasang 4 roda besar sekali. Dua kali dari utilisasi yang ada. Astra punya Daihatsu dengan kapasitas terpasang 520.000 unit, utilisasi 100 persen terpakai. Toyota 250.000 unit, terpakai 80 persen. Kami punya sepeda motor Honda 5,3 juta unit, terpakai 80 persen. Kami beruntung punya utilisasi yang baik.
Oleh karena itu, tidak bisa melihat 2019 itu sebagai 2019 saja. Kita harus melihat ke depan. Kalau ke depan kita melihat ada potensi baik. Jangan lupa, menyiapkan pabrik minimum perlu waktu 1,5 tahun. Kalau 87 unit mobil per 1.000 orang di Indonesia, ini potensi yang tinggi buat otomotif. Namun, kalau distribusi perekonomian belum merata, yang beli itu-itu lagi.
Akan tetapi jangan salah. Sekarang yang pertama membeli kendaraan langsung Agya dan Ayla, berarti punya purchasing power.
Yang penting, apa pun bisnis Astra, harus berpegang pada Catur Dharma nomor 4. Operational excellent, tidak boleh ada sampah dan inventori yang tinggi. Astra misalnya pinjam ke bank, bunganya bisa minimal 9-10 persen. Anda punya inventori 2-3 bulan, bisa menghabiskan marjin usaha. Ya memang harus punya fondasi kuat. Astra terkenal dengan Astra Management System untuk memastikan operasional berjalan baik. Kami tidak suka inventori berlebihan.
Dari jasa keuangan, yang namanya persiapan ke depan tinggi sekali, terutama digitalisasi. Yang namanya rentang, dari tahun ke tahun tidak beda jauh. Tapi kadang-kadang di tahun-tahun yang susah, mungkin yang harus dijaga adalah mencari konsumennya, dengan rentang yang ada, agar gagal bayar lebih sedikit.
Di alat berat, tahun lalu bukan main alat berat kami. Komatsu bisa menjual 4.800 unit. Kalau tahun ini kami berusaha untuk segitu. Tapi kalau turun ke 4.500 unit atau 4.200 unit, bukan akhir dunia. Yang penting tidak termakan inventori berlebihan, karena itu semua uang.
Menurut saya, selama fondasi kuat, tidak menghambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak perlu, seharusnya Astra bisa menjaga pendapatan dan laba. Kondisi serba tidak normal. Jaga imun sehingga bisa mempertahankan eksistensi. Tahun 1998 seram sekali kalau diingat. Astra mau bangkrut. Utang 14 kali dari ekuitas. Alhamdulillah sekarang utang 35 persen ekuitas. Harus dijaga sekarang.
Menurut saya, selama fondasi kuat, tidak menghambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak perlu, seharusnya Astra bisa menjaga pendapatan dan laba.
Bagaimana dengan produktivitas?
Saya selalu lihat laporan keuangan dan inventori. Kalau naik, saya tanya kenapa, bagaimana mengurangi. Tidak usah dimarahi. Dengan sentuhan hati akan tersentuh. Di Astra jarang marah-marah kecuali kebangetan.
Dari semua pilar Astra, mana yang paling penting ?
Latar belakang saya otomotif. Bukan berarti saya mengedepankan otomotif. Sejak 2001, saya katakan, Astra harus membesarkan non-otomotif lebih cepat. Jangan disalahrtikan. Kalau Astra dikatakan mau meninggalkan otomotif, itu salah.
Lebih cepat, dalam arti, otomotif sangat tergantung inflasi, purchasing power, dan lain-lain. Maka dari itu, ada bisnis lain yang dalam 10 tahun ini perkembangannya pesat. Kami punya pembangkit listrik yang selesai pembangunannya pada di 2021. Begitu beroperasi, jadi duit buat Astra.
Enam ruas tol, empat ruas di antaranya beroperasi. Panjangnya 302 kilometer. Kalau dihitung, pangsa pasar kami lebih dari 20 persen. Kami punya perusahaan konstruksi, asuransi jiwa, yang sementara belum menghasilkan tapi segera menghasilkan juga. Kami juga punya tambang emas yang baru diakuisisi, yaitu Martabe, yang jadi penopang United Tractors dan Astra.
Semula, porsi otomotif 90 persen pada 2001. Tapi sekarang tidak lagi, mungkin 39 persen. Imbang antara auto dan non-auto. Saya garisbawahi, Astra tidak meninggalkan otomotif. Kalau meninggalkan, sama sekali tidak membuat outlet baru, orang-orang terbaik tidak ditaruh di otomotif. Kalau begitu, namanya meninggalkan.
Kami melihat, suatu saat bisnis roda empat ini akan melesat. Begitu PDB per kapita 5.000 dollar AS atau 5.500 dollar AS, seharusnya penjualan mobil 2 juta unit.
Salah satu perhatian Astra pada distribusi perekonomian yang belum baik, atau masih timpang. Bagaimana Astra memperhatikan hal-hal ini?
Nilai-nilai yang kami anut Catur Dharma. Bisa dibayangkan, pada 1974, Yayasan Toyota Astra berdiri. Tahun 1980, Yayasan Dana Bhakti Astra berdiri. Sejak awal berdiri, ada keberlanjutan. Indonesia makmur. Maka, berbagi harus dilakukan. Caranya lewat dividen Astra, dengan rasio yang dibagikan hanya 40 persen dari laba. Sekitar 55-60 persen laba ditanam lagi di sini. Kita sedih kalau melihat bangsa ini tidak maju-maju. Menurut saya, dengan seperti ini pemerataan akan lebih baik.
Nilai-nilai yang kami anut Catur Dharma.
Menurut saya, Indonesia is on the right track untuk lebih baik. Tidak ada sesuatu yang instan. Biasanya kalau fondasinya kuat, akan langgeng. Astra terpukul sekali pada (krisis ekonomi) 1998-1999. Saat itu gaji dipotong, dan lain-lain. Harus rela, karena kondisinya seperti itu. Kalau dengan fondasi kuat, akan bisa lebih baik. Dunia seperti itu, ya tidak bisa dilawan.
Fondasi Astra kuat, di sisi lain, Astra jadi perusahaan yang sangat mapan. Zaman berubah cepat. Bagaimana Astra bisa menyesuaikan dengan situasi yang berubah cepat ini?
Laba Astra Rp 21 triliun. Belanja modal Rp 40 triliun. Karena ada akuisisi Martabe, masuk ke Go-Jek, membuat perusahaan Astra Digital International. Sekitar 70 persen karyawan Astra dari generasi milenial. Kalau saya ketemu, tergantung pesan apa yang mau saya bawakan. Sebulan sekali saya ketemu anak-anak muda itu.
Ekonomi digital tidak bisa diabaikan. Kita harus jadi pemain juga. Kenapa bikin Astra Digital International? Saya punya 80-100 orang, yang datang dari luar Astra. Ini pendatang baru yang nonAstra, tapi kita perlu suntikan kultur Astra seperti yang lahir di Astra. Cara pikir mereka mesti dihargai karena lebih cepat dari kita.
Di China, perusahaan nomor 1-3 adalah ahli di bidang digital. Indonesia punya 4 unicorn. Makanya kita mengadakan kontak dan akses., karena pada akhirnya kita tidak bisa mengabaikan dan harus digitalisasi lebih cepat. Digitalisasi Astra Agro Lestari, di UT ada UTCommand, konsumen bisa melacak pesanan barangnya.
Begitu juga dalam industri 4.0. Saat Honda bikin pabrik, otomatisasi juga. Industri 4.0, cepat atau lambat, pasti masuk. Hal itu sudah terjadi di kami, meskipun tidak kami gembar-gemborkan. Yang kami sajikan, cepat atau lambat ke arah sana, tapi tidak meninggalkan basik. Tradisional jangan dibuang meskipun ada tambahan. Nilai-nilai Astra adalah kelebihan Astra. Kita tidak boleh berhenti berinovasi. Kita tidak boleh berinovasi dengan membuang yang tradisional.
Kalau secara ekosistem industri 4.0 di Indonesia, seperti apa?
Kalau saya membacanya gini. Saya liat di televisi jerman, dengan kecerdasan buatan, kira-kira akan hilang sekitar 300 juta-400 juta pekerjaan, Tapi ada yang mengatakan juga, akurasi diagnosa menjadi lebih tinggi. Dalam kecerdasan buatan ada begitu banyak data, sehingga seseorang didiagnosa dengan akurasi yang lebih tinggi. Ini dilihat dari sisi positif.
Bagi Astra, hal ini penting untuk menghasilkan lebih banyak pekerjaan. Saya paling tidak suka krisis dan harus melepas orang. Lebih senang kalau menciptakan pekerjaan baru. Bagi kami ada kepuasan tersendiri.
Fungsi-fungsi akan berkurang?
Di Astra ada efisiensi di setiap unit bisnis. Orang pada level tertentu harus fleksibel. Jangan hanya tahu keuangan dan ekonomi, itu namanya menutup diri. Orang yang tidak berpendidikan tinggi saja bisa kok. Pada akhirnya, logika berpikir.
Tahun 1998 menjadi pelajaran penting bagi Astra. Apa keunggulan Astra, sehingga bisa menghadapi kondisi baik dan buruk?
Kalau jadi nahkoda kapal sebesar Astra, harus trengginas (agile). Tapi harus hati-hati. Karena kalau saya salah ambil keputusan, dampaknya 226.140 kali berapa. Yang tidak berhubungan secara langsung juga kena dampak. Kalau ada apa-apa dengan bisnis sepeda motor, yang jual helm dan stiker juga kena dampaknya. Ini yang tidak berkaitan langsung dengan bisnis Astra.
Satu organisasi dengan fondasi yang kuat dan nilai-nilai yang kuat. Nilai-nilai ini yang kami bawa sampai sekarang. Ulang tahun kemarin, Astra merayakan inovasi ke-35. Pada 2018, dari 226.140 karyawan Astra, ada 800.000 usulan inovasi. Mereka bangga, bukan semata-mata karena hadiah sebagai inovator tahun ini. Tapi, dengan nilai-nilai luhur yang dimiliki Astra, hal ini tidak gampang.
Adaptif, trengginas, dan inovatif, dengan berlandaskan nilai-nilai luhur. Kalau tidak ada nilai-nilai yang mesti dipegang, akan berbahaya.
Menurut saya, seharusnya dengan kekuatan negeri ini, Indonesia akan lebih maju. Astra adalah satu perusahaan yang akan memetik manfaatnya. Kalau negeri ini susah, Astra juga akan susah.