Saatnya Kembali ke Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
Teror penembakan membabi-buta di Masjid Al Noor dan Linwood, Christchurch, Selandia Baru menjelang shalat Jumat, (15/3/2019) benar-benar menyayat rasa kemanusiaan masyarakat dunia. Radikalisme telah menjadi ancaman global.
Sebanyak 49 orang tewas dan 48 orang lainnya terluka setelah Brenton Tarrant membabi-buta melepaskan tembakan ke arah puluhan orang yang tengah bersembahyang shalat Jumat. Kebencian yang berlebihan terhadap kelompok yang berbeda melandasi tindakan biadab Tarrant.
Tiga hari sebelumnya, Selasa (12/3/2019) di Sibolga, Sumatera Utara, istri terduga teroris Abu Hamzah meledakkan diri bersama anaknya menggunakan bom rakitan yang mereka buat dari informasi yang beredar di jejaring media sosial. Lokasi ledakan tersebut hanya berjarak sekitar 600 meter dari Terminal Penumpang Pelabuhan Sibolga yang diresmikan Presiden Joko Widodo, Minggu (17/3/2019). Seperti kejahatan-kejahatan teroris lainnya, ketidakmampuan menerima perbedaan liyan melandasi aksi-aksi terorisme di berbagai penjuru dunia.
Di Indonesia, persoalan tentang perbedaan seharusnya sudah selesai sejak para pendiri bangsa menegaskan Pancasila sebagai dasar negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa…berbeda-beda tapi tetap satu. Namun, tak bisa dimungkiri, sampai saat ini, toleransi ternyata belum menjadi etika kolektif bersama bangsa ini.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengakui, di tataran masyarakat, potensi dan aktualisasi sikap intoleransi dan saling tidak menghargai satu sama lain masih sering terjadi.
“Kita harus kembali lagi kepada prinsip-prinsip yang mempersatukan bangsa ini, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip inilah yang membuat bangsa ini melakukan akomodasi timbal balik. Inilah yang hilang di sebagian masyarakat kita sehingga kemudian kebencian, peredaran hoaks dan fitnah merajalela,” paparnya, Kamis (14/3/2019), di Jakarta.
Kita harus kembali lagi kepada prinsip-prinsip yang mempersatukan bangsa ini, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip inilah yang membuat bangsa ini melakukan akomodasi timbal balik.
Intoleransi sebagai Kemiskinan Peradaban
Senada dengan Azra, Direktur Riset Setara Institute Halili menilai upaya-upaya penguatan ideologi kebangsaan dalam dua dekade terakhir tidak diurus dengan serius. Akibatnya, kesadaran tentang keberagaman etnis, suku, agama, dan kelompok sebagai sebuah kekayaan bangsa tidak tertanam secara kuat di masyarakat, terutama di kalangan anak-anak.
Selama ini, anak-anak didik mudah sekali terpapar ideologi radikal. Keberadaan organisasi-organisasi kesiswaan di sekolah ternyata tidak mampu membentengi potensi penyebaran ideologi radikal dan terorisme, dan gerakan anti Pancasila.
“Kemiskinan peradaban terjadi ketika kita tidak mampu lagi melihat liyan sebagai bagian dari kekayaan kita. Apabila kita gagal menanamkan kepada anak-anak kita bahwa yang berbeda adalah bagian dari kekayaan kita, maka kita sesungguhnya telah memiskinan mereka secara kultural,” ucapnya. Kealpaan inilah yang membuat kelompok-kelompok konservatif mudah mengintrusi dunia pendidikan dengan paham, ideologi dan doktrin mereka,” kata Azra.
Masalah intoleransi menjadi salah satu bentuk kemiskinan peradaban yang nyata saat ini. Salah satu pokok persoalan intoleransi terletak pada dimensi struktural di mana kaum elite tidak bisa memberikan penegasan dan penyadaran bahwa intoleransi adalah masalah bersama yang harus mendapatkan penanganan serius dari dari hulu hingga hilir.
Upaya memupuk semangat toleran dan penghargaan terhadap kebhinnekaan bisa dimulai dari hilir, salah satunya melalui lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi etalase besar untuk kebinnekaan Indonesia. Jika lembaga pendidikan gagal menjadi contoh persemaian toleransi, maka kemiskinan peradaban intoleransi akan semakin menjadi-jadi.
Beberapa modal positif dan kemajuan besar dalam membangun toleransi sudah mulai bermunculan, salah satunya tampak pada sikap institusional Nahdlatul Ulama yang menganjurkan agar kata ‘kafir’ tidak digunakan untuk melabeli non-muslim dalam ranah sosial dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah ini sejurus dengan upaya Muhammadiyah yang berniat menyebarkan Islam yang mencerahkan dan memobilisasi penyebaran keagamaan yang moderat.
Upaya-upaya untuk mencegah kemiskinan peradaban ini sangat positif dan harus dikembangkan terus-menerus ke depan. Organisasi masyarakat, organisasi agama, dan masyarakat sipil harus berjibaku mendukung, dan tentu saja pemerintah harus mampu mengorkestrasi semuanya agar nantinya toleransi bisa menjadi etika kolektif bersama.
Budayawan Mudji Sutrisno SJ beranggapan bahwa bangsa Indonesia saat ini mengalami keterputusan sejarah kebudayaan dan kemiskinan keteladanan dengan ditandai kotornya ruang-ruang publik oleh aksi-aksi politik amoral dan omong kosong para politisi tanpa dasar. Menurutnya, Indonesia sebagai ranah untuk kemajemukan suku dan agama dalam sebuah format negara hukum dan demokratis mesti mendapatkan jaminan yang jelas dari para elit politiknya.
Dengan dasar negara Pancasila serta semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia memiliki modal sangat besar untuk terus-menerus memperkuat ikatan kebangsaan aneka macam etnis, suku, agama, dan kelompok Nusantara.
Komitmen bersama itu mesti dipegang bersama-sama oleh seluruh elemen masyarakat sebagai sebuah kesepakatan bangsa yang tak boleh lagi ditawar-tawar. Tanpa harus menunggu lagi teror-teror berikutnya, seluruh masyarakat Indonesia harus kembali lagi kepada prinsip-prinsip yang mempersatukan bangsa ini, yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.