Polda Sumsel menerjunkan penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus untuk menyelidiki kasus perambahan dan penebangan liar di Kabupaten Musi Banyuasin.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS - Kepolisian Daerah Sumatera Selatan telah menerjunkan penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus untuk menyelidiki kasus perambahan dan penebangan liar di Kabupaten Musi Banyuasin. Penyelidikan ini untuk menangkap pelaku utama di balik penebangan ilegal yang terjadi di perbatasan Sumatera Selatan-Jambi.
Hal ini diungkapkan Kepala Polda Sumsel Inspektur Jenderal Zulkarnain Adinegara, di Palembang, Senin (18/3/2019). Zulkarnain menegaskan, pihaknya langsung menyelidiki kasus tersebut ketika diketahui adanya kayu yang diduga hasil penebangan liar dari kawasan hutan masuk ke Musi Banyuasin melewati sungai.
“Saya langsung menginstruksikan Polres Musi Banyuasin untuk menyusuri sungai dan mengumpulkan kayu hasil penebangan liar tersebut,” kata Zulkarnain.
Dari hasil penelusuran tersebut, ungkap Zulkarnain, ditemukan sekitar 78 balok kayu racuk yang dikumpulkan dari sejumlah titik. “Saat ini, kayu tersebut menjadi barang bukti penyelidikan,” katanya.
Setelah mengumpulkan kayu, petugas kemudian menyusuri sungai di malam hari untuk mencari kemungkinan adanya aktivitas penebangan di kawasan hutan. “Namun, dari penelusuran tersebut, pelaku tidak ditemukan. Bahkan, penelurusan harus dihentikan lantaran kapal yang ditumpangi petugas rusak karena menabrak batang pohon,” ujar Zulkarnain.
Zulkarnain menjelaskan, dari hasil penelusuran, kayu itu berasal dari Sarolangun, Jambi, yang dialirkan melalui Sungai Batanghari Leko. Fokus penyelidikan saat ini adalah untuk mencari pelaku utama di balik penebangan, bukan sekadar menangkap warga yang menebang atau tukang angkut kayu.
“Sasaran kami selanjutnya adalah sawmill (tempat pengolahan dan penumpukan kayu) yang berada di sekitar jalur pendistribusian kayu,” ucap Zulkarnain.
Kami akan menggandeng tim ahli lingkungan untuk memastikan asal kayu. Kalau benar dari kawasan hutan, bisa dipastikan kayu itu ilegal.
Dengan menertibkan sawmill, lanjut Zulkarnain, maka dipastikan aktivitas penebangan liar dapat berhenti. “Mereka menebang karena ada permintaan. Kalau industri pengolahan kayu ditertibkan, kemungkinan permintaan bisa berhenti, penebangan liar pun juga berhenti,” katanya.
Zulkarnain mengakui, ada beberapa kendala yang dihadapi dalam menyelidiki kasus ini, antara lain modus pelaku yang menggunakan skema jaringan terputus. Skema itu yakni antara pelaku penebangan dengan pengolah kayu biasanya terpisah.
Selain itu, petugas juga kesulitan untuk memastikan bahwa kayu itu dari kawasan hutan. “Karena itu, dalam penyelidikan ini, kami akan menggandeng tim ahli lingkungan untuk memastikan asal kayu. Kalau benar dari kawasan hutan, bisa dipastikan kayu itu ilegal,” kata dia.
Pantauan Kompas saat menelusuri jalur pengangkutan kayu di Kawasan Simpang Gas, Kecamatan Tungkal Jaya, hingga Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, menunjukan ada tiga sawmill yang beroperasi. Untuk menutupi kegiatannya, ketiga sawmill tersebut dikelilingi pagar seng setinggi 2 meter.
Seorang mantan pemain kayu mengatakan, aktivitas penyaluran kayu dari kawasan hutan menuju sawmill menggunakan dua jalur, yakni jalur sungai dan jalur darat. Jalur sungai melewati Sungai Batanghari Leko, adapun jalur darat melalui Desa Sako Suban.
“Untuk kayu yang diambil dari sungai biasanya memang dari kawasan hutan di Jambi, sedangkan untuk kayu yang diangkut dari darat, berasal dari kawasan Sako Suban yang masih berada di Kabupaten Musi Banyuasin," ujarnya.
Direktur Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute (HaKI) Adiosyafri mengatakan, tegakan hutan di Sumatera Selatan mengalami penurunan pesat dalam dua tahun terakhir. Pada 2017, tegakan hutan di Sumsel mencapai 855.750 hektar, turun dibandingkan dua tahun lalu yang mencapai 904.000 hektar. Penurunan ini disebabkan penebangan serta kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015.
Dia menerangkan, hingga saat ini, total luas kawasan hutan di Sumsel mencapai 3,5 juta hektar. Namun, dari jumlah tersebut, tegakan hutan di Sumsel saat ini diperkirakan hanya tinggal 855.750 hektar. Penurunan ini disebabkan maraknya praktik penebangan liar dan juga alih fungsi lahan.
Modus yang digunakan oleh para pelaku beragam. Namun, biasanya hal itu dimulai dengan penebangan kayu-kayu tanaman hutan. Setelah itu, dilakukan pembakaran hutan untuk pembersihan lahan dan pada akhirnya lahan tersebut berubah fungsi menjadi tanaman perkebunan. Itulah sebabnya kebakaran hutan di kawasan hutan masih sering terjadi.
Berdasarkan pantauan satelit, tegakan hutan di Sumsel hanya ada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Sembilang, Suaka Margasatwa Dangku, Hutan Daerah Aliran Sungai Hulu, dan Hutan Harapan. “Di daerah ini masih terjadi banyak perambahan dan penebangan ilegal,” ucap Adiosyafri.