Pembalakan Masif Dibiarkan
Sepuluh tahun terakhir, penegakan hukum oleh polisi tak menghentikan pencurian kayu dari kawasan konservasi. Polisi kesulitan mencari pemilik kayu yang dialirkan di sungai.
MUARO JAMBI, KOMPAS Bertahun-tahun pembalakan liar dibiarkan masif menggerogoti hutan dataran rendah Sumatera. Tanpa upaya khusus, kehancuran hutan tersisa itu segera terjadi.
Di sejumlah kawasan hutan dataran rendah di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, pembalakan marak dalam 10 tahun terakhir. Sabtu (16/3/2019), Kompas kembali mendapati lebih dari 1 kilometer kayu-kayu curian dialirkan lewat kanal di Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Kanal itu milik salah satu perusahaan pemegang izin hak penguasaan hutan (HPH) setempat.
Di salah satu titik penumpukan, alat berat memindahkan kayu-kayu ke kanal lain. Dari situ, kayu mengalir hingga Sungai Kumpeh. Lebih dari 200 meter kubik kayu per hari diperkirakan dibawa keluar dari jalur kanal menuju Sungai Kumpeh.
Di kawasan hutan itu, Kompas mendapati praktik serupa tahun 2011 dan 2015. Setiap kali praktik ilegal itu diberitakan, ditindaklanjuti operasi oleh penegak hukum. Namun, hanya sporadis sehingga tak pernah sungguh-sungguh terhenti.
Sumber kayu dari hutan itu dibawa keluar lewat batas Jambi-Sumsel. Aliran kayu sebagian menuju Jambi, sisanya ke bangsal kayu di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Muaro Jambi Afrizal mengakui maraknya pembalakan liar di wilayahnya. Penegakan hukum terakhir dilakukan Desember 2018. Sepanjang Januari-Maret 2019, belum ada operasi lagi.
Afrizal mengeluh aktivitas liar itu sulit terpantau karena faktor akses masuk hutan. ”Kami sudah melaporkan hal ini dan meminta bantuan Dinas Kehutanan Jambi,” katanya, Minggu (17/3).
Kepala Bidang Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Dinas Kehutanan Jambi Agus Sriyanta mengatakan, perusahaan pemegang izin HPH yang dimaksud sudah 2-3 tahun terakhir tidak mengajukan izin rencana kerja tahunan (RKT). ”Kalau tidak punya RKT, perusahaan pengelola hutan tidak boleh menebang di areal kerjanya,” katanya.
Warga sekitar, Arpi, mengatakan, masyarakat mengetahui, kayu-kayu dari hutan itu tidak hanya dialirkan oleh pekerja perusahaan, tetapi juga kelompok pembalak. Sebagian kayu memasok industri kapal di Muaro Jambi. Selebihnya mengisi bangsal-bangsal kayu di kabupaten tersebut.
Masyarakat pun menandai, kayu yang dibawa keluar penebang perorangan sudah berwujud kayu olahan ketika dialirkan lewat kanal. Para pekerja perusahaan mengalirkan kayu-kayu bulat berdiameter 30-50 sentimeter.
Pembalakan liar juga marak pada kawasan konservasi dan restorasi ekosistem di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan. Berdasarkan pemetaan tim gabungan Kelompok Pengelola Hutan Produksi Meranti dan LSM, aliran kayu curian mulai dari Hutan Harapan, Hutan Lalan Mangsang Mendis, Hutan konservasi dan Produksi Dangku-Meranti, hingga eks Hutan Tanaman Industri Padeco.
Kayu dialirkan di sejumlah sungai, seperti Sungai Meranti, Sungai Kapas, Sungai Lalan, dan Batanghari Leko. Dari sungai, kayu dipasok ke industri-industri pengolahan di sepanjang hilir sungai di Musi Banyuasin. Selanjutnya, kayu dikirim ke Palembang, Jambi, Lampung, Banten, dan Semarang.
Belum terungkap
Berdasarkan pemantauan Kompas, pengelolaan kayu hutan masif di Kecamatan Batanghari Leko, Musi Banyuasin, Sumsel. Tidak jauh dari sungai tempat kayu-kayu dialirkan, berdiri posko polisi dan posko terpadu.
Dari penelusuruan Kompas, rute pengiriman kayu ilegal mulai dari kawasan Simpang Gas, Kecamatan Tungkal Jaya, menuju Desa Lubuk Bintialo, Kecamatan Batanghari Leko. Keduanya di wilayah Musi Banyuasin. Selain jalur pengiriman kayu, jalur ini jalur pengiriman batubara dan beberapa komoditas lain.
Jalur pengiriman ini harus melalui aspal rusak, yang ketika kering menjadi debu pekat. Beberapa truk pengangkut batubara terparkir di pinggir jalan.
Di kanan dan kiri jalan ada beberapa tanaman rakyat, seperti karet dan tanaman milik perusahaan pemegang konsesi. Di sejumlah titik terdapat penambangan minyak ilegal oleh masyarakat setempat.
Tumpukan kayu hutan diletakkan di pinggir jalan. Sekitar 50 kilometer dari kawasan Simpang Gas, di bawah Jembatan Bintialo, ratusan balok kayu mengapung di Sungai Batanghari Leko. Terpasang garis polisi.
”Ada tim dari kepolisian datang Sabtu pagi dan memasang garis polisi di kayu-kayu itu,” kata Kasudi (35), yang sedang memperbaiki perahu.
Biasanya, kata dia, ada kayu mengambang hampir setiap hari tanpa kesibukan polisi. Kepala Polres Musi Banyuasin Ajun Komisaris Besar Andes Purwanti mengatakan, penelusuran keberadaan kayu ilegal terus berlangsung. Kayu-kayu dikumpulkan di bawah Jembatan Bintialo dan dipasangi garis polisi.
Hingga kini, pemilik kayu masih dicari. Polisi baru bisa memastikan penebangan tidak terjadi di Musi Banyuasin, tetapi di Sarolangun, Jambi.
Polisi masih menyatakan terus mencari. ”Kami belum menyimpulkan dari perusahaan mana kayu ini berasal,” kata Kepala Unit Pidana Khusus Polres Musi Banyuasin Inspektur Satu Rusli.(ITA/RAM)