Selama bertahun-tahun pembalakan liar dibiarkan masif menggerogoti hutan dataran rendah Sumatera. Tanpa upaya khusus, kehancuran hutan yang tersisa itu segera terjadi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
MUARO JAMBI, KOMPAS — Selama bertahun-tahun pembalakan liar dibiarkan masif menggerogoti hutan dataran rendah Sumatera. Tanpa upaya khusus, kehancuran hutan yang tersisa itu segera terjadi.
Di sejumlah kawasan hutan dataran rendah di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, pembalakan berlangsung marak 10 tahun terakhir. Selama itu, nyaris tak ada upaya maksimal dilakukan aparat penegak hukum untuk menghentikan.
Kompas kembali mendapati lebih dari 1 kilometer kayu-kayu curian dialirkan lewat sebuah kanal di wilayah Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Kanal itu milik salah satu perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) setempat.
Pada salah satu titik penumpukan, kayu-kayu diangkat lalu diseberangkan ke kanal lain dengan menggunakan alat berat. Dari situ, kayu terus mengalir hingga Sungai Kumpeh. Diperkirakan lebih dari 200 meter kubik kayu per hari dibawa keluar dari jalur kanal itu menuju Sungai Kumpeh.
Masih di kawasan hutan itu, praktik serupa juga Kompas dapati tahun 2011 dan 2015 lalu. Setiap kali praktik ilegal diberitakan, biasanya hal itu akan ditindaklanjuti dengan operasi pengendalian oleh aparat penegak hukum. Namun, upaya tersebut hanya sporadis sehingga tak pernah berhasil menyetop maraknya pembalakan liar.
Sumber kayu dari hutan itu juga dibawa keluar lewat batas Jambi-Sumsel. Aliran kayu sebagian menuju Jambi dan sisanya ke bangsal kayu di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Muaro Jambi Afrizal mengakui maraknya pembalakan liar di wilayahnya. Upaya penegakan hukum terakhir kali dilakukan pada Desember 2018. Sejak Januari hingga Maret ini belum ada lagi operasi pengendalian pembalakan liar.
Afrizal mengeluh, aktivitas liar dalam hutan itu sulit terpantau dan terkendali karena faktor akses masuk hutan. ”Kami sudah melaporkan hal ini dan meminta bantuan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi,” katanya, Minggu (17/3/2019).
Kepala Bidang Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Agus Sriyanta mengatakan, perusahaan pemegang izin HPH yang dimaksud sudah dua atau tiga tahun terakhir tidak mengajukan izin rencana kerja tahunan (RKT). Oleh karena itu, semestinya tidak boleh ada pengambilan kayu di sana.
”Kalau tidak punya RKT, perusahaan pengelola hutan tidak boleh menebang (kayu) di areal kerjanya,” katanya.
Warga sekitar, Arpi, mengatakan, warga mengetahui, penebangan ilegal kayu-kayu dari hutan itu tak hanya dilakukan oknum pekerja perusahaan, tetapi juga kelompok-kelompok pembalak. Sebagian kayu dari sana untuk memasok industri kapal di wilayah Muaro Jambi. Selebihnya untuk mengisi bangsal-bangsal kayu yang banyak berdiri di kabupaten tersebut.
Warga pun menandai, kayu yang dibawa keluar oleh penebang perorangan sudah berupa kayu olahan ketika dialirkan lewat kanal. Adapun yang dialirkan oleh pekerja perusahaan masih berupa kayu-kayu bulat berdiameter 30 sentimeter hingga 50 sentimeter.
Kalau tidak punya RKT, perusahaan pengelola hutan tidak boleh menebang (kayu) di areal kerjanya.
Selain di hutan itu, pembalakan liar juga marak di kawasan konservasi dan restorasi ekosistem di perbatasan Jambi dan Sumsel. Hasil pemetaan yang dilakukan tim gabungan Kelompok Pengelola Hutan Produksi Meranti serta kalangan lembaga swadaya masyarakat mendapati, aliran kayu-kayu curian itu mulai dari Hutan Harapan, Hutan Lalan Mangsang Mendis, Hutan Konservasi dan Produksi Dangku-Meranti, hingga eks Hutan Tanaman Industri Padeco.
Kayu dialirkan di sejumlah sungai, seperti Sungai Meranti, Sungai Kapas, Sungai Lalan, dan Batanghari Leko. Dari sungai, kayu selanjutnya dipasok ke industri-industri pengolahan yang banyak berdiri di sepanjang hilir sungai, mulai dari wilayah Macang Sakti hingga Pangkalan Balai, Kabupaten Musi Banyuasin. Selanjutnya, kayu olahan dikirim ke Palembang, Jambi, Lampung, Banten, hingga Semarang.