Muda di Bongkaran, Tua di Pinggiran
Matahari tegak lurus dengan langit. Jalan Tenaga Listrik yang membatasi Kanal Banjir Barat dan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, berangsur lengang.
Para pemulung yang biasanya memadati lokasi itu beringsut ke dalam gubuk terpal. Botol-botol plastik dan tumpukan ban bekas berserakan di depan pondok reyot itu.
Hanya anak-anak yang bertahan dari panas terik siang itu. Mereka berlari-lari kecil berusaha menerbangkan layang-layang di tengah tiupan angin yang malas.
Di bawah pohon, dua perempuan paruh baya duduk bercangkung menghadap ke kali. “Sebentar lagi pasti datang,” kata seorang yang berambut pendek, Sabtu (16/3/2019).
Perempuan beranting bulat yang diajak bicara tak menanggapi. Ani (55) hanya termangu menatap air di sekatan Kali Ciliwung yang mengalir tenang.
Hari itu ia bersolek bak anak muda. Celana pendek hot pants warna hijau tua melingkar ketat di pinggangnya yang tambun. Rambut sebahu diikat tinggi memamerkan tengkuk yang tak lagi muda.
“Si Bapak janji mau datang habis Salat Jumat,” katanya.
Yang dimaksud Ani sebagai “Si Bapak” adalah seorang pria berusia 60 tahun. Lebih kurang sudah enam tahun mereka menjadi pasangan kekasih.
Si Bapak bekerja sebagai pasukan oranye di Jakarta. Ia sudah beristri dan memiliki enam anak di kampungnya, Sukabumi, Jawa Barat.
“Mbak Ani enggak takut dilabrak istri Si Bapak?”
“Istrinya sakit, enggak bisa “dipakai” makanya Si Bapak nempel sama saya. Namanya juga laki-laki, kalau enggak dikasih, ya, pasti jajan,” ujar Ani.
Pelanggan
Ani dan si Bapak awalnya bertemu di Terminal Barang Bongkaran Tanah Abang. Di lokasi itu, dari 2004 hingga 2013, ia bekerja sebagai pekerja seks komersial.
Meminjam istilah Ani, si Bapak adalah pelanggan tetap yang keterusan. Si Bapak dahulu sering mengungkapkan kecemburuannya jika Ani melayani pelanggan lain.
“Si Bapak yang nyuruh saya berhenti. Dia janji kalau saya berhenti “nakal” nanti bakal dikasih pekgo (Rp 150.000) untuk belanja setiap minggu,” kata Ani.
Janji itu masih ditepati si Bapak sampai sekarang. Setiap minggu, ia memberi Ani Rp 150.000 hingga Rp 200.000 untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Menurut Ani, uang itu berasal dari penghasilan sampingan Si Bapak menjual barang bekas. Gaji pokok sebagai petugas kebersihan dikirimkan si Bapak kepada istri dan anaknya di kampung.
Hasil itu memang tak seberapa dibanding pendapatan Ani ketika masih aktif menjajakan diri. “Sehari paling enggak tiga kali ngamar, sekali ngamar Rp 200.000,” ujarnya.
Namun, uang hasil ngamar itu tidak seluruhnya masuk ke kantong Ani. Ia harus membaginya untuk mami (mucikari) Rp 150.000 dan untuk preman Rp 50.000.
“Saya sudah jelek, enggak mampu saingan sama yang muda. Kalau sudah tua, pengennya istirahat di rumah sambil nonton kali dan tanaman,” kata Ani.
Kehidupan malam
Ani pun mengajak masuk ke dalam gubuknya. Ia menunjukkan sejumlah perabot hasil pemberian si Bapak, seperti penanak nasi elektrik, tempat tidur spring bed, dan kipas angin kecil.
Barang-barang yang dipungut Si Bapak dari tong sampah itu bagi Ani adalah tanda cinta yang nyata. “Kalau petugas Satpol PP datang, barang itu yang paling dulu aku selamatkan,” katanya.
Dalam seminggu, si Bapak biasanya dua atau tiga kali menginap di gubuk pinggir kali itu. Jika si Bapak sedang tidak berkunjung, Ani mengisi hari dengan menanam sayuran di bantaran Kanal Banjir Barat.
“Itu obat kangen kampung. Anakku wedok satu-satunya sudah beranak dua. Kadang aku pengen pulang, tapi bingung di kampung mau ngapain,” kata Ani.
Tak mudah bagi Ani meninggalkan kehidupan malam. Sering ia merasa kesepian dan ingin kembali bertemu kawan-kawan malamnya.
“Kalau ada si Bapak rasanya ada teman. Kami ini sama-sama sudah tua, sudah enggak butuh seks. Hidup (bersama) cuma nyari pegangan. Jakarta ini kejam, kalau enggak punya teman bisa gila,” kata Ani.
Dua jam sudah lewat dari tengah hari, Ani kembali duduk di bawah pohon. Ia termangu menanti si Bapak yang tak juga kunjung datang. (PANDU WIYOGA)