Jejak Karya Zulfirman Syah, Pelukis Indonesia Korban Penembakan di Selandia Baru
Zulfirman Syah (40) baru tinggal di Selandia Baru selama sekitar dua bulan saat penembakan keji terjadi di dua masjid di negara itu, Jumat (15/3/2019). Dalam insiden yang terjadi di kota Christchurch itu, Zulfirman—yang berasal dari Sumatera Barat—dan anak lelakinya yang berusia sekitar dua tahun ikut tertembak sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Zulfirman Syah (40) baru tinggal di Selandia Baru selama sekitar dua bulan saat penembakan keji terjadi di dua masjid di negara itu, Jumat (15/3/2019). Dalam insiden yang terjadi di kota Christchurch itu, Zulfirman dan anak lelakinya yang berusia sekitar dua tahun ikut tertembak sehingga harus dirawat di rumah sakit.
”Ada beberapa peluru yang mengenai dia (Zulfirman), tetapi tidak dijelaskan di mana saja. Hanya saja, katanya yang terparah di paru-paru,” kata kakak Zulfirman, Handra Yaspita (42), saat ditemui di Padang, Sumatera Barat, Jumat malam. Zulfirman memang berasal dari Sumatera Barat.
Selain Zulfirman dan sang anak, ada satu WNI lain bernama Lilik Abdul Hamid yang juga menjadi korban dalam penembakan di Selandia Baru. Namun, berbeda dengan Zulfirman dan sang anak yang lolos dari maut, Lilik meninggal. Total korban tewas akibat penembakan yang dilakukan pria asal Australia, Brenton Tarrant, itu mencapai 50 orang, sementara korban luka mencapai puluhan orang.
Baca juga: Dunia Kecam Teror di Selandia Baru
Penembakan keji itu sontak melahirkan dukacita mendalam dan kecaman dari banyak negara. Secara khusus, tragedi itu juga menumbuhkan kesedihan di kalangan seniman Tanah Air karena Zulfirman merupakan seorang pelukis yang lama tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Pria kelahiran Padang itu merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan anggota Sakato Art Community, komunitas perupa asal Sumatera Barat yang berkarya di Yogyakarta.
Ketua Sakato Art Community Erizal As menuturkan, setelah lulus dari jurusan seni lukis di ISI Yogyakarta pada tahun 2006, Zulfirman memutuskan tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Namun, pada pertengahan Januari 2019, Zulfirman bersama istrinya—yang merupakan warga negara Amerika Serikat—dan seorang anaknya memutuskan pindah ke Selandia Baru.
”Istrinya mendapat peluang kerja bagus di Selandia Baru dan Zul ikut ke sana,” ujar Erizal, Sabtu (16/3/2019), di sekretariat Sakato Art Community di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Istrinya mendapat peluang kerja bagus di Selandia Baru dan Zul ikut ke sana.
Erizal mendapat informasi pertama kali terkait kondisi Zulfirman pada Jumat siang. Kabar itu datang dari tulisan di akun Facebook istri Zulfirman yang menyebut suami dan anaknya ikut tertembak dalam tragedi di Christchurch.
Setelah itu, Erizal mendapat informasi tambahan bahwa Zulfirman dan sang anak telah menjalani operasi. ”Sabtu pagi, saya inisiatif hubungi istrinya. Kata istrinya, Zul sudah menjalani operasi kedua dan kondisinya sudah stabil dan sudah lebih baik daripada kemarin,” ujar Erizal yang merupakan teman seangkatan Zulfirman di ISI Yogyakarta.
Kabar tertembaknya Zulfirman dan sang anak itu tentu mengejutkan bagi teman-temannya di Sakato Art Community. Apalagi, sehari sebelum penembakan terjadi, Zulfirman masih ikut berbincang di grup WhastApp Sakato Art Community. ”Waktu itu, Zul bercanda, enggak ada lontong sayur di Selandia Baru,” ucap Erizal.
Erizal mengenang, Zulfirman merupakan sosok yang sederhana dan bersahabat. Zulfirman juga dikenal sebagai Muslim yang taat dan sehari-hari menjalankan gaya hidup sehat. ”Gaya hidupnya sehat sekali. Dia tidak merokok dan suka olahraga,” ujarnya.
Ia menyatakan, Sakato Art Community mengutuk aksi penembakan di Selandia Baru. ”Kami mengecam dan mengutuk perbuatan itu. Sangat-sangat tidak bisa kita toleransi tindakan itu. Kami menganggap tindakan itu sebagai tindakan teroris dan tidak berperikemanusiaan,” katanya.
Lukisan abstrak
Jejak kekaryaan Zulfirman Syah sebagai pelukis cukup panjang. Berdasarkan curriculum vitae pribadinya, Zulfirman sudah aktif mengikuti pameran seni rupa sejak tahun 1997, saat ia menjadi mahasiswa tahun pertama di ISI Yogyakarta. Sejak saat itu, pria kelahiran Padang, 15 November 1978, tersebut telah mengikuti banyak pameran.
Selain di kota-kota di Indonesia, Zulfirman juga pernah mengikuti pameran di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, China, Italia, Malaysia, dan Macedonia Utara. Pada tahun 2000, Zulfirman juga menjadi finalis kompetisi Phillip Morris Indonesia Art Awards VIII.
Sebagai pelukis, sosok Zulfirman identik dengan lukisan abstrak. Sebab, selama beberapa tahun terakhir, lukisan-lukisan Zulfirman memang memiliki gaya abstrak. Meskipun begitu, dari waktu ke waktu, lukisan abstrak yang dihasilkan Zulfirman sebenarnya terus berkembang. Oleh karena itu, lukisan Zulfirman terkini memiliki pembeda yang tegas dengan karya beberapa tahun sebelumnya.
Salah satu karya Zulfirman yang cukup menonjol adalah lukisan bertajuk ”A Voice of Heart” yang dibuat tahun 2011 dan dipamerkan dalam Beijing International Art Biennale 2012 di China. Lukisan berukuran 140 sentimeter x 180 sentimeter dan dibuat dengan akrilik di atas kanvas itu menggambarkan sebuah obyek yang menyerupai jantung manusia. Di sekitar obyek itu terdapat sejumlah tulisan berbahasa Inggris yang berulang dan saling bertumpuk.
Apabila disatukan, tulisan di lukisan itu kira-kira berbunyi: ”Art as expression, not as market campaigns, still capture our imagination, given the same state of integrity. It will surely help us”. Dari kalimat-kalimat itu, kita bisa mengenali bagaimana Zulfirman menekankan karya seni sebagai sebuah ekspresi, bukan produk pasar. Dengan mempertahankan seni sebagai ekspresi, Zulfirman tampaknya meyakini, seni akan mampu menangkap imajinasi sekaligus menyuarakan isi hati manusia.
Di galeri seni rupa daring Saatchi Art, Zulfirman juga diketahui membuat sedikitnya tiga lukisan lain dengan gaya mirip dengan lukisan ”A Voice of Heart”. Tiga lukisan itu, yang masing-masing berjudul ”Mindset”, ”Magical Substance”, dan ”Wisdom”, juga menggambarkan sebuah obyek dengan tulisan bahasa Inggris yang saling bertumpuk di sekitarnya.
Sayangnya, tidak ada keterangan kapan tiga lukisan itu dibuat dan apakah karya-karya tersebut pernah dipamerkan atau tidak. Namun, melihat kesamaan gayanya, ada kemungkinan tiga lukisan itu dibuat dengan rentang waktu tak terlalu jauh dari pembuatan lukisan ”A Voice of Heart”.
Pada tahun 2012-2013, Zulfirman Syah masih membuat lukisan abstrak dengan ornamen tulisan di dalamnya. Namun, lukisan yang dibuat pada periode ini memiliki pembeda cukup tegas dengan lukisan ”A Voice of Heart”. Sebab, lukisan-lukisan periode 2012-2013 itu tidak lagi didominasi sebuah obyek yang jelas seperti ”A Voice of Heart”.
Selain itu, tulisan pada lukisan-lukisan tersebut juga hanya berupa satu atau dua kata yang diulang-ulang, bukan beberapa kalimat seperti di lukisan ”A Voice of Heart”.
Pada tahun 2012, berdasarkan informasi di situs arsip seni rupa IndoArtNow, Zulfirman sedikitnya membuat lima lukisan dengan gaya seperti ini, yakni ”Acceptance”, ”Dicipline”, ”Faith”, ”Kindness”, dan ”Learn Forever”. Sementara itu, pada 2013, Zulfirman paling tidak membuat satu lukisan dengan gaya seperti ini, yakni ”Xcellent”.
Pada periode yang lebih berikutnya, Zulfirman Syah membuat lukisan-lukisan abstrak yang tak lagi mengandung ornamen tulisan dan obyek yang jelas. Meskipun demikian, lukisan abstrak yang dibuat Zulfirman masih memunculkan suasana khas yang mengingatkan kita pada obyek tertentu.
Itulah kenapa, saat melihat lukisan ”Oceanic Abyss” yang dibuat tahun 2016, kita mungkin lamat-lamat membayangkan laut yang menegangkan atau bahkan menyeramkan. Sementara itu, lukisan ”Spirit of Rainforest” (2017) barangkali mengingatkan pada hutan hujan yang rimbun dan gelap.
Pada tahun 2018, Zulfirman melakukan percobaan menarik dengan membuat lukisan abstrak, tetapi menggunakan teknik realis. Dalam percobaannya ini, Zulfirman menjadikan sisa-sisa cat dari proses melukisnya terdahulu sebagai ”model” untuk lukisan-lukisannya. Sisa-sisa cat yang membentuk pola abstrak itu dipotret oleh Zulfirman, lalu ia membuat lukisan dengan teknik realis untuk ”meniru” pola yang terbentuk dari sisa cat tersebut.
Dari lukisan-lukisan abstrak yang ia buat dengan teknis realis itu, Zulfirman tampaknya bukan hanya hendak membuat percobaan teknis semata. Namun, sepertinya ia ingin menunjukkan bahwa sisa-sisa cat dari proses melukis—yang sering kali dianggap tak berguna dan kerap dilupakan begitu saja—bisa diolah menjadi karya baru yang memesona.
Salah satu lukisan abstrak dengan teknik realis itu ditampilkan dalam pameran Bakaba #7 yang bertajuk Zaman Now pada 3-31 Mei 2018 di Jogja Gallery, Yogyakarta. Dalam pameran seni rupa yang rutin digelar oleh Sakato Art Community itu, Zulfirman menghadirkan karya bertajuk ”Arise”.
Setelah itu, pada pameran Plus di Nadi Gallery, Jakarta, 25 Oktober-12 November 2018, Zulfirman juga menampilkan lukisan hasil percobaannya. Pada pameran yang diikuti sejumlah anggota Sakato Art Community itu, ia menyajikan dua lukisan bertajuk ”Grow” dan ”The Forgotten”.
Menurut rencana, sejumlah lukisan abstrak dengan teknik realis karya Zulfirman juga akan ditampilkan pada perhelatan seni rupa Auckland Art Fair 2019 di Auckland, Selandia Baru, 1-5 Mei 2019. Partisipasi Zulfirman dalam acara itu didukung oleh Redbase Art Management, lembaga seni rupa di Indonesia.
Informasi ikhwal partisipasi Zulfirman itu didapat dari situs resmi Auckland Art Fair. Situs tersebut juga mencantumkan foto dua lukisan karya Zulfirman, yakni ”Grow” dan ”Soar”. Selain itu, di akun Instagram-nya, Auckland Art Fair juga membuat pernyataan dukacita untuk para korban penembakan di Christchurch. Pernyataan yang disertai foto lukisan ”Grow” itu juga secara khusus menyebut Zulfirman dan anaknya sebagai korban dalam penembakan.
Sekretaris Sakato Art Community Bayu Whardana menuturkan, percobaan Zulfirman membuat lukisan abstrak dengan teknik realis itu memang mendapat apresiasi dari banyak pihak. Bahkan, setelah penyelenggaraan pameran Plus, Nadi Gallery juga menawari Zulfirman untuk membuat pameran tunggal di galeri tersebut. Namun, karena Zulfirman dan keluarganya pindah ke Selandia Baru, belum ada kepastian terkait pameran tunggal.
”Jadi, secara kekaryaan, dia (Zulfirman) sedang dalam posisi menanjak,” ungkap Bayu yang dikenal sebagai penulis dan kurator seni rupa. Sayangnya, saat proses berkaryanya sedang menanjak, Zulfirman justru menjadi korban penembakan keji. Namun, kita semua tentu berharap Zulfirman segera pulih sehingga ia bisa kembali menghasilkan karya-karya yang memukau kita semua.