JAKARTA, KOMPAS – Analisa Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bencana banjir dan longsor di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua disebabkan bendung alami yang jebol. Di wilayah Sentani Timur terdapat fenomen longsor karena proses alami yang membentuk bendung alami tersebut.
“Adanya longsor karena proses alami di wilayah timur Sentani dan membentuk bendung alami yang jebol ketika hujan ekstrem,” kata Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Saparis Soedarjanto, Minggu (17/3/2019) di Jakarta.
Adanya longsor karena proses alami di wilayah timur Sentani dan membentuk bendung alami yang jebol ketika hujan ekstrem.
Ia menunjukkan curah hujan ekstrem di Sentani tersebut mencapai 248,5 milimeter per hari yang menyebabkan debit aliran tinggi. Debit air ini tak mampu ditahan oleh bendung alami yang berada di perbukitan Sentani sehingga jebol dan menimbulkan air bah.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional, bencana yang terjadi Sabtu kemarin menyebabkan 50 orang tewas. Tim SAR gabungan masih terus melakukan pencarian korban jiwa maupun luka-luka.
Saparis menyebutkan area bencana tersebut merupakan Sub-Daerah Aliran Sungai Sentani yang masuk dalam lansekap Daerah Aliran Sungai Sentani Tami. Banjir berada di sisi Jayapura bagian Utara, Jayapura bagian Selatan, Abepura, Heram, dan Sentani dengan luas daerah tangkapan air (DTA) banjir 15.199,83 hektar yang berada pada hulu DAS Sentani Tami di atas waduk Sentani.
Data Ditjen PDASHL KLHK menunjukkan terdapat penggunaan penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan kering campur pada DTA banjir seluas 2.415 ha. Bila disandingkan dengan peta kerawanan banjir limpasan, sebagian besar DTA banjir merupakan daerah dengan potensi limpasan tinggi dan ekstrim.
Selain itu, lokasi titik banjir merupakan dataran aluvial dan berdekatan dengan lereng kaki (foot slope). Dengan kata lain, secara geomorfologis daerah ini merupakan sistem lahan yang tergenang (inundated land system).
Upaya yang telah dilakukan KLHK yaitu menjalankan program rehabilitasi hutan dan lahan tahun 2014-2016 seluas 710,7 ha pada DTA banjir. Namun hal ini belum cukup.
KLHK merekomendasikan untuk mengembalikan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya. Meski data perubahan tutupan lahan tidak begitu signifikan yaitu total hutan berkurang seluas 495,47 ha atau sebesar 3,3 persen.
Selain itu, lanjut Saparis, di tempat itu agar dilakukan peninjauan tata ruang berdasarkan pertimbangan pengurangan resiko bencana dan mengembangkan skema adaptasi di titik banjir. “Perlu internasilasi Program Rehabilitasi Lahan di hulu dan tengah DAS terutama kawasan hutan ke dalam indikasi program pada tata ruang,” kata dia.
Program lain yang diperlukan, kata dia, program konservasi tanah dan air berupa Saluran Pembuangan Air (SPA) di lahan pertanian dan permukiman untuk meningkatkan pengatusan. Langkah ini diharapkan dapat menurunkan potensi longsor dan akumulasi air pada waktu yang pendek.
Sementara itu, dalam keterangan pers, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional Sutopo Purwo Nugroho pun menduga banjir bandang Sentani, kemungkinan disebabkan adanya longsor di bagian hulu yang kemudian menerjang di bagian hilir. Karakteristik banjir bandang yang sering terjadi di Indonesia diawali adanya longsor di bagian hulu kemudian membendung sungai sehingga terjadi badan air atau bendungan alami.
Karena volume air terus bertambah kemudian badan air atau bendung alami ini jebol dan menerjang di bagian bawah dengan membawa material-material kayu gelondongan, pohon, batu, lumpur dan lainnya dengan kecepatan aliran yang besar. Ini ditambah dengan curah hujan yang berintensitas tinggi dalam waktu cukup lama. Pada tahun 2007, kejadian banjir bandang juga pernah terjadi di Distrik Sentani.
Ia menyebutkan banjir bandang Sentani menyebabkan 50 orang meninggal dunia dan 59 orang luka-luka. Tim SAR gabungan terus melakukan evakuasi, pencarian dan penyelamatan korban banjir bandang ini.
Disebutkan, dari 50 orang meninggal dunia, 38 jenazah dibawa ke RS Bhayangkara Polda Papua, 7 jenazah di RS Marthin Indey, dan 5 jenasah di RS Yowari. Sebanyak 49 korban sudah berhasil diidentifikasi sedangkan 1 jenazah masih dalam proses identifikasi.