Peta Pantauan Digital, Inovasi Konservasi
Potongan gambar dari situs Fairventures Worldwide pada kebun mili Siwung, salah satu petani Kabupaten Gunung Mas yang mengikuti program satu juta pohon.
Inovasi peta pemantauan digital yang menggabungkan citra satelit dan kondisi riil di lapangan dikembangkan untuk mendukung konservasi di Kalimantan Tengah.
PALANGKARAYA, KOMPAS— Peta digital yang dikembangkan Fairventures Worldwide di Kalimantan Tengah, bisa menjadi solusi untuk memantau progres program konservasi secara periodik. Bahkan, peta pemantauan itu juga bisa digunakan untuk membentuk rantai bisnis antara petani dan para pembeli.
Sebelumnya, Fairventures Worldwide (FVW), lembaga non-pemerintah asal Jerman, membuat program menanam satu juta pohon yang didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Untuk program yang berlokasi di Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Katingan, Kalteng, itu, mereka juga bermitra dengan Borneo Institute (BIT) Kalteng, lembaga lokal Kalteng.
Program satu juta pohon tersebut dimulai sejak tahun 2014. Saat ini sudah 850.000 bibit tanaman disebar dan ditanam di dua kabupaten dengan melibatkan sedikitnya 1.100 petani. Tahun ini, FVW juga sudah menyiapkan 112.000 bibit yang akan disebar dan ditanam oleh sedikitnya 162 petani.
Untuk mendukung program tersebut, FVW membuat situs untuk memantau perkembangan penanaman pohon. Dalam situs itu, semua orang bisa memantau perkembangan kebun yang dipetakan. Tak hanya itu, semua orang juga bisa memantau laju deforestasi, luas area terdegradasi, regenerasi hutan, hingga perkembangan program restorasi.
Peta pemantauan hutan yang menggabungkan pemantauan melalui citra satelit dan pemantauan di lapangan itu bisa dilihat di situs FVW atau pada link berikut https://webmap.fairventures.openforests.com/map.
Dalam peta itu, diperoleh informasi rinci tentang petani yang menanam dan memelihara pohon berikut perkembangan pohon yang ditanam nya. Di situ juga ada informasi luas lahan, jumlah pohon yang ditanam, keterangan waktu tanam, dan tinggi pohon saat ini. Peta itu juga bisa dibesarkan dan langsung bisa dilihat gambar nyata kebun dari petani.
Pada peta itu juga terlihat kondisi alam dan hutan yang ada di sekitar kebun petani. Bisa dilihat juga beberapa hutan yang sudah dibuka atau hutan yang masih utuh.
”Petani yang terlibat dalam program ini bisa memantau perkembangan pohonnya dan semua informasi ini terbuka untuk publik dan dapat diakses melalui situs yang ada,” ungkap Kepala Perwakilan FVW di Indonesia Panduh Tukat, Sabtu (16/3/2019).
Raih penghargaan
Pengembangan sistem pemantauan digital ini membawa FVW meraih penghargaan internasional Google Impact Challenge 2018 dari Google sebagai program yang membawa dampak sosial terbaik.
Dalam membuat situs itu, FVW bekerja sama dengan OpenForest, perusahaan konsultan yang menyediakan layanan manajemen hutan dengan mengembangkan teknologi untuk meningkatkan pengumpulan, pemrosesan, dan analisis data hutan.
”Ini juga merupakan upaya kami mengembangkan rantai nilai produk dengan menghubungkan petani dan pembeli atau perusahaan sebagai calon pembeli,” kata Panduh.
Direktur Borneo Institute (BIT) Yanedi Jagau mengungkapkan, program ini memilih spesies lokal dan jenis kayu cepat tumbuh cepat agar bisa menghasilkan untuk petani. Beberapa jenis pohon yang dibagikan, antara lain, sengon (Albizia chinensis), jabon (Neolamarckia cadamba), akasia, dan spesies lokal hantangan.
”Semuanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan mengembalikan kesuburan tanah yang terdegradasi. Di sela-sela pohon juga dilakukan tumpang sari,” kata Yanedi.
Tumpang sari dengan menanam kacang tanah, rempah-rempah, kopi, dan kakao di sela-sela tegakan pohon itu menjadi alternatif pendapatan jangka pendek bagi petani.
Tampung (48), salah seorang ketua kelompok tani yang mengikuti program itu, mengungkapkan, program tersebut secara perlahan bisa mengubah kebiasaan petani agar tidak bergantung pada kebiasaan membakar. ”Sengon menjadi pilihan sementara agar kebun kami tetap terawat dan dikelola karena kalau
tidak dikelola malah akan
terbakar terus,” kata Tampung.
Tampung dan petani lainnya saat ini terhubung dengan PT Albasia Bumipala Persada (ABP), perusahaan kayu asal Temanggung, Jawa Tengah. Pada tahun 2017, Direktur Utama PT ABP Widiastuti datang langsung ke Kabupaten Gunung Mas untuk memberikan penjelasan dan membuat kontrak dengan petani.
”Ini terobosan dan membawa harapan baru pelaku industri kayu untuk menciptakan iklim bisnis yang transparan dan adil bagi semua pihak,” kata Panduh. (IDO)