Laboratorium bagi MG Pringgotono (38) dan Sukma H K (22) adalah kepala yang dipenuhi dengan keinginan untuk bermain-main. Setiap kegelisahan yang ada, mereka wujudkan dengan memanfaatkan barang-barang yang dekat dengan mereka: lingkungan seni. Dan, mereka memulainya dengan “memainkan” benda-benda yang mereka sebut sebagai limbah artistik.
MG (baca: emji) yang merupakan kepala sekolah Gudskul, sebuah kolektif seni di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, kerap resah melihat sisa barang dalam ekshibisi seni. Setelah perhelatan seni selesai, kerap menyisakan spanduk publikasi, styrofoam, dan berbagai barang lain yang tak terpakai.
Melihat spanduk-spanduk yang menumpuk, MG memiliki ide untuk membuat tas dengan barang-barang itu. “Kebetulan saya bisa menjahit dan suka tas. Jadi banner-banner itu saya jahit untuk dijadikan tas,” kata MG saat ditemui Senin (25/2/2019) lalu di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pada November 2017, MG sepakat membuat proyek bersama dengan sahabatnya, Sukma, pada perhelatan seni rupa kontemporer Jakarta Biennale 2017. Dengan mengusung merek Stuffo/labs, mereka membuat berbagai bentuk tas sebagai official merchandise Jakarta Biennale 2017.
Selain itu, mereka juga membuat lokakarya bagi siapa saja yang tertarik belajar memanfaatkan spanduk sisa kegiatan seni. Pengunjung yang mengikuti lokakarya itu diajak menjahit spanduk yang ada. MG dan Sukma mendampingi para pengunjung yang ingin belajar memanfaatkan spanduk tidak terpakai.
Desain khas spanduk setiap acara menjadi keunikan tersendiri saat dijadikan berbagai jenis tas. MG dan Sukma memilih bagian-bagian spanduk yang memiliki motif unik untuk dirangkai menjadi berbagai macam tas, seperti tas bahu, tas selempang, dan tas pinggang.
Desain khas spanduk setiap acara menjadi keunikan tersendiri saat dijadikan berbagai jenis tas
Ikon-ikon setiap acara seni sengaja ditonjolkan dalam setiap produk tas yang dibuat. "Sebagai dokumentasi dan pengingat. Jadi, setiap tas mengingatkan setiap pameran, senimannya siapa, kapan, dan di mana," ujar MG.
Setiap perhelatan seni memiliki karakteristik publikasi masing-masing. Hal itu membuat MG dan Sukma memiliki pengalaman baru dengan berbagai bahan limbah artistik. Mereka merespon setiap bahan yang ada untuk dijadikan barang bernilai lebih dengan menjahitnya.
Pada April 2018, Stuffo/labs berpartisipasi dalam ekshibisi seni di The National Museum of Modern and Contemporary Art (MMCA), Korea. Acara itu bertajuk 2018 Asia Project:How Little You Know About Me. Spanduk perhelatan seni tak terpakai di MMCA dikumpulkan dan direspon oleh Stuffo/labs.
Di Korea, MG menjumpai bahan spanduk berbeda dengan bahan yang kerap digunakan di Indonesia. Di sana, semua spanduk yang ada di MMCA berbahan kain. MG merespon bahan-bahan itu.
Ia buat pola-pola di atas kain-kain itu. Para pengunjung museum diajak untuk membuat tas dari bahan-bahan itu, mulai dari memotong pola sampai menjahit. Antusiasme pengunjung tinggi. Pengunjung rela mengantre hingga 4 jam untuk menunggu giliran menjahit.
"Antrean panjang banget. Mesin jahit cuma bawa satu, yang antre sekitar lima puluh orang," ujar MG terkekeh.
Selain membuat lokakarya di berbagai perhelatan seni kontemporer, MG dan Sukma kerap mengisi materi di kampus-kampus terkait pemanfaatan spanduk tak terpakai. Mereka juga kerap menerima anak magang dari kampus.
Selain membuat lokakarya di berbagai perhelatan seni kontemporer, MG dan Sukma kerap mengisi materi di kampus-kampus terkait pemanfaatan spanduk tak terpakai.
Bahan lain
Produk yang mereka produksi dijual dalam berbagai kegiatan seni. Penjualan juga mereka lakukan di dalam jaringan (daring) melalui media sosial. Harga setiap produk beragam antara Rp 150.000-Rp 800.000, sesuai kekuatan bahan, desain, dan kerumitan jahitan.
MG dan Sukma tidak berhenti di spanduk tak terpakai. Dengan slogan "laboratorium bikin-bikin", mereka mengeksplorasi bahan-bahan di sekitar mereka untuk membuat apa saja dari bahan apa saja. Mereka memanfaatkan styrofoam dan sabuk pengaman tak terpakai.
Styrofoam sisa pameran seni mereka kumpulkan untuk dihancurkan. Mereka mengajak pengunjung menyerut styrofoam dalam Paserba Tumpah Ruah, sebuah perhelatan pasar serba ada anak muda di Jakarta.
"Kita buat penghancur styrofoam dari bor yang didesain khusus. Styrofoam itu kita gunakan untuk isi bean bag," ujar Sukma.
Isi styrofoam itu kemudian dimasukkan ke kain yang sudah dijahit. Para pengunjung yang ikut memarut styrofoam kemudian duduk di bean bag yang berisi parutan styrofoam tak terpakai.
Isi styrofoam itu kemudian dimasukkan ke kain yang sudah dijahit
Mereka juga memanfaatkan sabuk pengaman mobil dan pesawat tak terpakai. Sabuk-sabuk itu dijahit hingga menjadi berbagai produk, seperti tas dan tempat pensil.
Berbagai produk itu dirangkai dan didesain menjadi produk baru yang bernilai nan estetis dengan dijahit. Bagi Sukma, menjahit adalah laku untuk menenangkan diri dari hiruk-pikuk dunia.
Sementara, bagi MG, menjahit adalah laku keseharian. Dalam kegiatan seni, MG kerap mengumpulkan orang dengan berbagai keahlian untuk membuat proyek seni bersama. "Bedanya, kalau dalam kegiatan seni, kemampuan orang-orang dijahit. Kalau membuat produk, itu menjahit dalam makna yang sesungguhnya," ujar MG.