Penangkapan terduga teroris di Sibolga, Sumatera Utara, Selasa lalu, menyentak kita, terutama karena istri terduga diperkirakan meledakkan diri bersama anaknya.
Polisi terus memburu jaringan terduga teroris Abu Hamzah. Tiga terduga teroris lain ditangkap kemarin. Penangkapan Abu Hamzah merupakan pengembangan dari penangkapan atas terduga teroris di Lampung pada Sabtu pekan lalu.
Jumat (15/3/2019), kita kembali dikejutkan oleh teror di Christchurch, Selandia Baru. Sebanyak 49 orang tewas dalam penembakan di dua lokasi menjelang shalat Jumat. Salah seorang pelaku memfilmkan penembakan tersebut.
Polisi menemukan beberapa fakta terkait Abu Hamzah, antara lain terduga diperkirakan bergerak sendiri, tidak memiliki jaringan luas, dan belajar sendiri membuat bom melalui media dalam jaringan. Istrinya ikut terlibat membuat bom dan akhirnya meledakkan diri bersama salah seorang anaknya.
Fakta-fakta tersebut sebetulnya bukan hal baru. Terduga teroris yang bergerak sendiri tanpa terkait jaringan luas sudah pernah terjadi. Kita juga masih ingat peristiwa peledakan rumah ibadah di Surabaya, tahun lalu, dengan melibatkan perempuan dan anak-anak. Bahwa terduga menjadi radikal dan belajar membuat alat peledak melalui media daring juga sudah berulang kali ditemukan.
Semua fakta tersebut semakin membuka mata, perubahan menjadi radikal dapat terjadi tanpa harus menjadi anggota suatu jaringan luas. Keterlibatan secara fisik dengan hadir di dalam pertemuan dan pelatihan oleh jaringan atau kelompok besar bukan keharusan.
Kita selalu diingatkan untuk lebih menaruh perhatian terhadap situasi lingkungan tempat kita tinggal. Selama ini umumnya pelaku teror tinggal bersama masyarakat biasa, beberapa di kawasan padat penduduk, dan dikenal baik oleh tetangga. Dalam kasus teror di Christchurch, Selandia Baru dikenal sebagai negara paling aman dan tingkat kebahagiaan penduduknya tinggi. Begitu pula Surabaya, pemerintah kota sudah menjadikan kotanya nyaman ditinggali dan mengusahakan tidak ada warga kota yang tertinggal.
Ada sejumlah pandangan terkait penyebab aksi teror. Salah satunya, tidak adanya akses untuk mengaktualisasikan diri, terutama pada generasi muda, dianggap dapat memicu tindakan ekstrem yang merugikan masyarakat. Ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan ketimpangan dalam akses pada sumber daya ekonomi, politik, dan hukum juga disebut sebagai pemicu rasa frustrasi. Oleh karena itu, kita perlu juga melihat kembali tatanan kelembagaan kita apakah sudah berfungsi dengan baik memenuhi kebutuhan masyarakat.
Media sosial memang dapat menjadi medium pemicu teror, tetapi sebaliknya juga dapat menjadi penangkalnya. Terorisme nyatanya dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, termasuk oleh warga negara asing. Oleh karena itu, mencegah terorisme menjadi kewajiban kita bersama. Tentu, terutama menjadi kewajiban aparat keamanan meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah terulangnya aksi teror.