JAKARTA, KOMPAS – Balaan Tumaan mempersembahkan sebuah pertunjukan sinema bunyi bertajuk ”HNNOH”. Balaan Tumaan menghibur penikmat seni di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Sabtu (16/3/2019), dengan karya kolektif berbasis pada arsip audiovisual tradisi musik vokal dalam ritual pada masyarakat Melayu dan Dayak.
Mengusung tema Panggung Ruang Kreatif, Galeri Indonesia Kaya menyajikan beragam pertunjukan menarik pada akhir pekan dari 14 kelompok terpilih Program Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia. Salah satu yang tampil adalah Balaan Tumaan.
Kelompok yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat, ini diisi oleh Frina Virginia, Reza Zulianda, Bumadius, Juan Arminandi, Hermansyah, Fian WD Hoogendyk, Ananda Ariadi Dewa. Mereka bertujuh dimentori Garin Nugroho.
Pemimpin produksi HNNOH, Sinema Bunyi, sekaligus komposer dan sound designer, Nursalim Yadi Anugerah, mengatakan, pertunjukan seni dari Balaan Tumaan merupakan wujud keresahan dan kekhawatiran tentang arsip-arsip tradisi Dayak yang perlahan mati dimakan oleh zaman.
Balaan Tumaan merupakan wujud keresahan dan kekhawatiran tentang arsip-arsip tradisi Dayak yang perlahan mati dimakan oleh zaman.
Sebagai pelopor ensambel musik baru di Kalimantan Barat, Balaan Tumaan juga fokus menjadi sebuah tempat atau laboratorium penciptaan musik baru berbasis tradisi. Karya itu berlandaskan riset.
”Riset yang kami lakukan fokus pada musik tradisi di Kalimantan, mulai dari pemetaan hingga penggalian secara mendalam sehingga penggalian kami menjadi sebuah arsip yang berbentuk dokumentasi audio, visual, dan juga tertulis,” kata Yadi seusai pentas.
Melalui pertunjukan tersebut, Balaan Tumaan mengajak generasi muda yang hadir di Galeri Indonesia Kaya untuk ikut melestarikan dan mencintai sejarah ataupun tradisi suku Dayak.
”Ruang berkesenian di Kalimantan Barat tidak banyak. Namun, itu tidak menghambat kami sebagai generasi muda menciptakan sebuah karya. Tidak ada ruang tidak mematikan potensi. Justru kami buka ruang berkesenian itu agar budaya Dayak tidak ditinggal lalu mati. Saya percaya, anak muda di Kalimantan sudah bergerak ke sana,” tutur Yadi.
Dalam bahasa Dayak Kayan, HNNOH berarti bunyi yang identik dengan gerakan. Selama lebih kurang 60 menit, penikmat seni dihibur dengan terminologi berupa arsip audiovisual ritual masyarakat adat Dayak dan Melayu yang tertuang dalam tradisi musik vokal.
Musik vokal dalam sebuah ritual khususnya di masyarakat tradisional Kalimantan tidak dapat dipisahkan karena kata-kata dan nyanyian bersifat intuitif dan penuh improvisasi. Namun, tetap memiliki substansi kuat, baik secara komunikasi dengan leluhur, Tuhan, maupun pada aspek bunyi sebagai bentuk artistik.
Pertunjukan HNNOH semakin indah dengan iringan alat-alat musik tradisional dan modern, seperti contrabass, kaldii, dau, gong, bass drum, sape, saksofon sopran, klarinet, dan biola.
Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari Adrian mengatakan, mendengar ataupun membaca kata arsip, terkadang langsung terlintas dan terbayang tentang sebuah kumpulan kertas ataupun dokumen yang sudah lama dan berdebu. Namun, kumpulan kertas atau dokumen itu memiliki manfaat dan nilai sejarah yang sangat tinggi.
Kelompok Balaan Tumaan berhasil menghilangkan bayangan tersebut. Mereka menyajikan sebuah arsip tradisi dan mengemasnya menjadi sebuah pertunjukan yang unik dan juga menghibur.
”Kami harap, program Ruang Kreatif Seni Pertunjukan Indonesia ini dapat menjadi wadah bagi kelompok-kelompok seni untuk mengembangkan ide dan kreativitasnya,” kata Renitasari.
Mangkuk tertelungkup
Dalam bahasa Dayak Kayaan, ”balaan” berarti tepian atau batas, sedangkan ”tuman” berarti pertemuan. Berdasarkan mitologi Dayak Kayaan, bumi seperti mangkuk yang tertelungkup dengan langit sebagai selimutnya. Istilah ”Balaan Tumaan” memiliki makna sebagai titik pertemuan atau batas pertemuan antara bumi dan langit di tiap ujung pandangan.
Secara paradoks, bisa juga diinterpretasikan sebagai sebuah ujung tempat bertemu yang belum tentu mempertemukan karena menemukan berarti merelakan.
Garin Nugroho mengatakan, seniman-seniman muda dari Balaan Tumaan berhasil mengajak penikmat seni untuk berimajinasi dengan sebuah pertunjukan kontemporer yang kental dengan unsur-unsur kebudayaan suku Dayak. Hal itu disertai dengan visualisasi dan bahasa yang sederhana, tetapi tetap imajinatif.
Ia melanjutkan, kota-kota besar di Indonesia selalu menyajikan kesenian dengan nilai-nilai masa seperti karnaval yang menarik banyak masa. Namun, jika berlandaskan pada kualitas dari sumber kebudayaan dan kehidupan, kesenian seperti yang disajikan oleh Balaan Tumaan sangat jarang ditemui.
”Karya-karya populer dilahirkan dari karya-karya klasik. Kita jangan sampai lupa bahwa seni karya klasik yang bersumber dari akar kebudayaan perlu terus diangkat. Seni pertunjukan di Indonesia dinilai masih kurang. Kita perlu memberikan ruang yang besar. Jangan hanya menyajikan industri kreatif yang vital dan masal semata,” kata Garin.
Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2016, Program Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia, Garin menilai, semakin diminati oleh seniman-seniman muda dengan segudang ide menarik.
”Senang rasanya melihat penampilan dari para seniman muda ini yang semakin beragam dari tahun ke tahun,” kata Garin. (AGUIDO ADRI)