Direktur Utama PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk atau BTPN, Ongki Wanadjati Dana, bertanggung jawab agar peleburan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia dengan BTPN berjalan mulus. Segmen dan karakteristik masing-masing bank menjadi kekuatan memperluas pasar
Peleburan kedua bank efektif sejak 1 Februari 2019. Pengalaman 36 tahun berkecimpung di sektor keuangan menjadi salah satu bekal Ongki menghadapi ketatnya kompetisi di sektor perbankan. Berikut petikan wawancara Kompas dengan direktur utama perusahaan yang menjadi salah satu emiten Kompas100 tersebut.
BTPN selama ini identik dengan anak muda, santai, dan selalu ada hal baru. Sementara SMBC (Bank Sumitomo Mitsui Indonesia) kan serius, bagaimana memadukannya?
Sebenarnya banyak karyawan yang berusia 30-35 tahun atau milenial. Mereka melihat tujuan perusahaan dan mencari tempat dimana bisa belajar dan tumbuh. Oleh karena itu, kami selalu sampaikan, perusahaan ini tempat yang memberi kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
Kami percaya hidup ini harus seimbang. Jadi ada waktunya kerja dengan resmi, ada waktunya juga untuk santai. Tantangannya adalah bagaimana agar seimbang, sebab yang di sini sangat konservatif, yang di sini sangat inovatif, atau di sini mungkin sangat zero tolerance, di sini mesti bisa fleksibel.
Sebetulnya tantangan ini juga ada sejak sebelum peleburan. Ada angkatan model saya dan ada generasi milenial. Kembali lagi, kalau kita mau terus belajar dan selalu sadar harus mulai beradaptasi, hal itu bisa kita lewati. Pucuk pimpinan harus tahu bahwa situasi sekarang berbeda. Cara milenial mengembangkan karir berbeda. Kita harus selalu menyesuaikan diri.
Merger itu tantangan yang harus kami hadapi. Kesannya ekstrem karena ada (segmen) korporasi. Saya mau sampaikan, di sebuah buku, orang Jepang bilang jika kebiasaan yang dulu membuat mereka bertahan beratus tahun kini bisa membunuh jika dilanjutkan. SMBC melihat bahwa mereka harus berubah. Salah satu nilai tambah yang mereka dapatkan dengan mengambil bank di luar Jepang, yakni Indonesia seperti BTPN, adalah bahwa (perubahan) ini bisa berjalan.
Salah satu hal yang saya bangga dan terkejut, ternyata (di SMBC) di Tokyo sana, bajunya (karyawan) juga kasual dan mereka yang milenial senang sekali. Itu tantangan yang dihadapi semua korporasi.
Selama 36 tahun jadi bankir, apa yang paling menantang dan pelajaran apa yang bisa dipetik?
Secara profesional, tantangan yang paling menantang adalah ketika melewati krisis keuangan tahun 1998. Saat itu, kami bangun perusahaan, tiba-tiba kena krisis dan harus ditutup, lalu harus melepas banyak orang. Belum lagi merugikan pemegang saham. Hal ini jadi pelajaran paling berharga.
Pembelajarannya, gunakanlah prinsip yang baik dan benar, selalu berdasarkan kasih. Apa pun masalahnya, selama kita sudah kerja keras, kerja pintar, dan ikhlas, jangan jadi beban lagi. Terpenting adalah kemauan untuk terus belajar dan beradaptasi.
Tantangan sebagai bankir?
Ketika mesti melakukan transformasi, harus tegas dan berani. BTPN, bukan karena visioner, bukan karena lebih jago dari yang lain, atau lebih futuristik, tetapi karena terpaksa. Ujung-ujungnya, kalau terpaksa, harus berubah.
Tantangan lain adalah memberikan arahan. Kalau perusahaannya besar, di tengah kan ada hirarki, ada orang, ada birokrasi yang perlahan-lahan harus berpikir untuk berubah. Jika perusahaan makin besar, hirarkinya makin banyak. Jadi tantangannya adalah bagaimana membuktikan yang kita lakukan itu baik dengan cara mau berkomunikasi.
Saya berkomunikasi dengan passion dan patient. Terus saja begitu. Itu tantangannya yang paling besar. Jadi bagaimana meyakinkan semua pihak bahwa ini adalah pendekatan yang benar, perubahan kali ini adalah perubahan yang benar.
Bagaimana menjaga keseimbangan hidup?
Menjaga keseimbangan antara jiwa dan raga. Kalau kita sudah bekerja dengan baik dan benar, lalu sudah mencoba sebaik mungkin, hasilnya kita serahkan pada Tuhan. Jadi tidak capai jasmani dan rohani.
Kedua, modal kami adalah kesehatan. Jadi saya juga berolahraga secara teratur, makan teratur dan dijaga (gizinya). Hidup jadi seimbang. Ketika Sabtu dan Minggu, saya berusaha untuk selalu bersama keluarga, ketemu tetangga, dan saya juga baru punya cucu.
Hobi mainan kereta api?
Waktu masih kecil, ayah saya mendapat tugas bekerja di Kanada. Waktu pulang, ketika itu usia saya 4,5 tahun, dia membelikan kereta mainan. Saya senang sekali mainan itu. Oleh karena kualitasnya sangat baik, mainan tersebut sangat awet. Dan, ketika saya punya anak, laki-laki pula, hobi itu saya teruskan. Lama-lama mainan bertambah besar dan mulai lengkap dengan segala macam fitur.
Kereta api itu unik. Saya belajar dari mainan kereta itu, bukan apa-apa, saya pikir mainan ini built to last. Kereta ini lambang tepat waktu, teratur, dan berguna. Salah satu cara menyeimbangkan hidup, ya, dengan bermain atau kalau orang dewasa ya melakukan hobi.