Sumatera Selatan membutuhkan keberadaan pelabuhan laut dalam guna mendukung peningkatan pendapatan dari ekspor beragam komoditas unggulan. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan kini sedang memetakan kawasan pesisir untuk menentukan rencana pelabuhan laut dalam itu.
Oleh
Rhama Purna Jati
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS—Sumatera Selatan membutuhkan keberadaan pelabuhan laut dalam guna mendukung peningkatan pendapatan dari ekspor beragam komoditas unggulan. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan kini sedang memetakan kawasan pesisir untuk menentukan rencana pembangunan pelabuhan laut dalam itu.
Pernah dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan dunia tempo dulu, hingga kini belum ada pelabuhan laut dalam yang ideal di Sumsel. Pelabuhan Boom Baru Palembang hanya berkapasitas 5.000 tonase bobot mati (DWT). Sebagai perbandingan, kapasitas itu jauh lebih kecil ketimbang Pelabuhan Panjang di Lampung. Di sana, kapasitasnya hingga 10.000 DWT.
Hal itu membuat Sumsel tak leluasa mengekspor komoditas andalannya dengan leluasa. Data Dinas Perkebunan Sumsel menyebutkan beragam komoditas unggulan seperti karet, kopi, dan kelapa. Khusus kopi dan karet, Sumsel tercatat sebagai pemilik lahan terbesar di Indonesia.
Hasil rekapitulasi luas areal dan produksi perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel tahun 2017 menunjukan, luas lahan karet mencapai 1,3 juta hektar dengan produksi sekitar 1,05 juta ton. Sedangkan untuk kopi, luasnya hingga 250.397 hektar dengan produksi mencapai 184.166 ton.
Hal ini terkuak dalam pelepasan ekspor komoditas karet, kelapa bulat, dan kopi di Pelabuhan Boom Baru Palembang, Sumsel, Jumat (15/3/2019). Hadir dalam acara itu Gubernur Sumsel Herman Deru, Kepala Badan Karantina Pertanian di Kementerian Pertanian Ali Jamil dan sejumlah ekportir di Sumatera Selatan.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan di Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan, saat ini, mayoritas komoditas itu diekspor dan diolah di provinsi tetangga, akibat ketiadaan pelabuhan laut dalam. Kopi, misalnya, masih diekspor melalui Lampung. Sedangkan karet kebanyakan diolah melalui Riau, Jambi, dan Medan.
Akibatnya, ekspor komoditas yang dikirim dari Sumsel juga tidak maksimal. Data sistem aplikasi perkarantinaan tahun 2018, ekspor karet hanya 249.000 ton dengan nilai Rp 3,9 triliun. Ekspor kopi juga tercatat 2.195 ton dengan nilai Rp 39,5 miliar.
“Artinya, Sumsel hanya mengekspor sekitar 20 persen total dari total produksi kedua komoditas tersebut. Padahal, peningkatan ekspor bisa menambah pendapatan asli daerah,” kata Rudi.
Ketua Dewan Kopi Sumsel Zain Ismed membenarkan tanpa pelabuhan laut dalam, ekspor kopi di Sumsel belum optimal. “Kebanyakan eksportir mengekspor kopinya dari Lampung karena ada pelabuhan berkapasitas sekitar 10.000 DWT. Pelabuhan Boom Baru, Palembang hanya berkapasitas 5.000 DWT," kata dia.
Akibatnya, pada tahun 2018, ekspor kopi di Sumsel hanya mencapai 2.195 ton. Jumlah itu jauh dari potensi ideal 150.000-200.000 ton per tahun. Hal ini juga memicu berkurangnya jumlah eksportir kopi. Di Sumsel, kini hanya ada satu eksportir kopi.
Menyikapi hal ini, Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan, tengah memetakan sejumlah kawasan yang cocok untuk dijadikan pelabuhan laut dalam bersama PT Pelindo II. Menurutnya, keberadaan pelabuhan itu bisa menjadi tonggak penting mengekspor komoditas unggulan di Sumsel dalam jumlah lebih besar.
"Salah satu yang menjadi perhatian adalah Pelabuhan Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin berkapasitas 1.000 DWT. Selanjutnya, kami akan fokus pada pengembangan Pelabuhan Tanjung Carat, yang direncanakan memiliki kapasitas 10.000 DWT, untuk menopang Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api," kata dia.